Jumat, 04 Maret 2011

Model Kelas Bilingual di Sekolah Bertaraf Internasional: Sebuah Pemikiran Konseptual

Oleh: Gusti Astika

Pendahuluan

SatyawacanaDalam era globalisasi seperti sekarang bahasa Inggris memegang peranan penting dalam komunikasi internasional baik dalam bidang pembangunan, teknologi, ekonomi, maupun pendidikan. Sejalan dengan arus globalisasi, kebutuhan akan kemampuan berbahasa Inggris semakin terasa. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa para ahli yang berkecimpung dalam dunia pendidikan merasa perlu memberikan pelajaran bahasa Inggris secara intensif dan berkesinambungan kepada para anak didik di sekolah menengah bahkan sejak anak-anak masih masih duduk di bangku sekolah dasar. Pada tingkat sekolah menengah telah banyak SMP dan SMA yang dijadikan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sudah banyak juga sekolah yang memperoleh status Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI.

Sekolah-sekolah tersebut mempersiapkan para siswanya agar pada masa mendatang mereka dapat bersaing secara global. Menyadari akan pentingnya kualitas pendidikan dan keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan negara lain, pemerintah terdorong untuk melakukan terobosan besar dalam bidang pendidikan dengan merancang Sekolah Bertaraf Internasional.

SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. SNP ini diperkaya dengan beberapa unsur pendidikan yang mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OCD) dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional (Sofa, 2009). Lebih lanjut Sofa menjelaskan bahwa ciri esensial dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan ialah: (a) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (b) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (c) lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

Landasan hukum SBI ialah: (a) UU No. 20 tahun 2003, pasal 50, ayat 3, yang menyataan bahwa pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, (b) PP No 19 tahun 2005, pasal 61, ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah bersama-sama pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, (c) Renstra Depdiknas 2005-2009 Bab V, halaman 58, tentang SBI yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan SBI pada tingkat Kab/Kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan Pemda Kab/Kota, untuk mengembangkan SD,SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional (http://sbi.sman5bekasi.blogspot.com).

Kelas bilingual

Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam sistem pembelajaran kelas bilingual. Menurut Dharma (2007) penyelenggaraan kelas bilingual melalui beberapa tahap; pada tahun pertama memakai bahasa pengantar bahasa Inggris sebanyak 25 persen dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan 50 persen bahasa Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Model kelas bilingual yang berjenjang ini, menurut Lee (2008: 85) disebut sebagai biligual transitional education karena siswa tidak langsung diajar dengan menggunakan bahasa Inggris secara penuh tetapi bertahap, porsi bahasa Inggris makin lama makin besar dan porsi bahasa siswa makin lama makin kecil. Model ini mengasumsikan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar dengan bahasa Inggris sudah mencapai tingkat lanjut sehingga dapat menentukan proporsi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam mengajar.

Untuk dapat melaksanakan konsep kelas bilingual ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain: (a) Substansi pelajaran harus cocok dengan tingkat perkembangan kognitif dan kemampuan bahasa Inggris siswa, (b) sekolah harus dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mendorong pemakaian bahasa yang bermakna baik tulis maupun lisan, (c) pembelajaran harus menekankan latihan pemecahan masalah dan siswa didorong untuk bekerjasama melalui tema-tema yang menarik dan menantang.

Sekolah-sekolah yang sudah atau sedang menyiapkan program kelas bilingual menghadapi masalah yang cukup serius, antara lain belum tersedianya buku ajar dalam bahasa Inggris yang cocok dengan kebutuhan sekolah, belum tersedianya silabus dalam bahasa Inggris, belum siapnya guru mengajar dengan pengantar bahasa Inggris, dan belum adanya model pembelajaran bilingual yang efektif. Di SBI, peranan guru bilingual untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat bersaing secara global dalam dunia kerja sangat besar. Competitive advantage para lulusan sekolah bertaraf internasional antara lain sangat bergantung kepada proses pembelajaran selama pendidikan. Keuntungan kompetitif ini akan dapat dimiliki oleh para siswa jika guru mata pelajaran mempunyai pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris yang memadai baik untuk memahami bahan pelajaran, mengajarkannya, dan melakukan evaluasi. Seorang guru bilingual harus memiliki tingkat ketrampilan dua bahasa yang cukup untuk bisa mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth, (2007:5) mengemukakan tingkat ketrampilan bilingual sebagai berikut,

At the heart of the description of bilingualism is the issue of degree of bilingualism. Simply put, degree of bilingualism refers to the levels of linguistic proficiency a bilingual must achieve in both languages to be considered a bilingual.

Seorang guru kelas bilingual harus orang yang bilingual, fasih dalam dua bahasa. Masalahnya apakah guru-guru mata pelajaran mampu menjadi seorang bilingual yang siap mengajar dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang guru agar siap mengajar. Di samping itu tingkat ketrampilan bilingual seperti apa yang dibutuhkan atau yang harus dicapai oleh seorang guru supaya mampu mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth (2007) membedakan dua macam ketrampilan bilingual. Pertama, balanced bilingual, yaitu orang yang dapat menguasai dua bahasa secara sempurna dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia, kemampuan seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Yang kedua ialah dominant bilingual, yaitu orang yang dominan dalam salah satu bahasa. Dalam praktek, ketrampilan seperti ini tidak dapat diterapkan untuk membicarakan semua hal. Guru bahasa Inggris, misalnya, mungkin tidak mampu menerangkan masalah biologi dengan benar dalam bahasa Inggris karena bahasa yang lebih dikuasainya atau yang lebih dominan ialah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan orang asing yang menguasai bahasa Indonesia mungkin tidak mampu menerangkan masalah budaya mereka dalam bahasa Indonesia; mereka akan menggunakan bahasa Inggris karena bahasa ini yang lebih dominan.

Mengingat kondisi sumber daya guru SBI saat ini, sangat sulit rasanya untuk mencapai tingkat kemampuan bilingual tertentu agar dapat mengajar kelas bilingual seperti yang diharapkan. Banyak hasil penelitian pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa secara umum penguasaan bahasa asing (Inggris) akan bisa maksimal jika dimulai sejak kecil, terutama dalam penguasaan ucapan. Orang dewasa, termasuk guru-guru di SBI yang harus belajar bahasa Inggris lagi melalui kursus atau pelatihan, akan sangat terpengaruh oleh sikap, motivasi, bakat, umur, dll, dan faktor-faktor tersebut akan secara signifikan dapat mempengaruhi hasil belajar.

Pelatihan untuk guru bilingual

Bahan pelajaran dalam kelas bilingual (seharusnya) memakai bahasa Inggris. Sangat aneh jika bahan pelajaran memakai bahasa Indonesia. Oleh sebab itu tidak relistis jika penyampaian substansi pelajaran disampaikan (sebagian besar) dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi pengembangan SBI di Indonesia yang memerlukan kerja keras dan komitmen yang tinggi secara berkelanjutan. Menurut Education Advisor dari British Council, Itje Chodidjah, berdasarkan hasil penelitian, murid perlu waktu tujuh tahun untuk fasih berbahasa Inggris dalam mempelajari mata pelajaran tertentu (Dharma, 2007). Hal ini perlu didukung oleh tersedianya bahan ajar yang baik dan ketrampilan pedagogik guru yang memadai.

Tuntutan untuk memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata pelajaran tersebut di atas telah mendorong sekolah untuk merancang berbagai program pelatihan bahasa Inggris untuk guru-guru. Mereka dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan formal untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan kursus mereka akan siap mengajar dengan bahasa Inggris. Ada juga sekolah yang mengundang pakar pendidikan bahasa Inggris untuk memberi pelatihan kepada guru-guru di sekolah secara reguler, di tengah-tengah kesibukan mereka mengajar. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah para guru yang sudah mendapat pelatihan bahasa Inggris sudah siap dengan tugas yang diamanatkan oleh undang undang tersebut di atas. Jika mereka belum siap, pengetahuan atau ketrampilan apa yang harus dimiliki oleh para guru agar mereka benar-benar siap mengajar dengan bahasa Inggris.

Salah satu SMA di Jawa Tengah memaparkan strateginya untuk pengembangan menuju sekolah unggul, antara lain sejak tahun 2006 para guru diberi training untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris melalui diklat bahasa Inggris Dasar. Sekolah tersebut berkerja sama dengan English Language Center, Universitas Sebelas Maret. Pada tahun 2007, ditindak lanjuti dengan kursus English Funcional. Selain itu dilakukan pula diklat bahasa Inggris berkerja sama dengan lembaga kursus bahasa San Diego Wonogiri. Sedangkan untuk tahun 2008, telah dilaksanakan tes TOEIC untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas/ kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris (http://sman2wonogiri.blog.plasa.com).

Program pelatihan serupa juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah lain yang sedang dipersiapkan menuju SBI. Namun perlu dipahami bahwa hasil tes standar seperti TOEIC atau TOEFL bukan menjadi jaminan bahwa seorang guru akan bisa mengelola kelas bilingual dengan benar seperti argumen yang dikemukakan oleh Dharma (2007) dalam kutipan di bawah ini,

Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performancenya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.

Dengan asumsi bahwa tes TOEFL atau TOEIC yang diambil ialah tes dalam bentuk yang lama, bukan computer atau internet-based test, argumen di atas menunjukkan bahwa ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara adalah dua ketrampilan yang berbeda. Ketrampilan membaca bukan jaminan dapat fasih berbicara apalagi dalam bahasa Inggris. Dalam literatur pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing banyak dibahas perbedaan antara ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara yang mempunyai implikasi pedagogis yang berbeda secara mendasar.

Jika argumen Dharma (2007) di atas benar, pola pelatihan guru bilingual yang selama ini dilakukan perlu dievaluasi. Koordinator SBI Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi informal dengan penulis, menyatakan bahwa PBM kelas-kelas bilingual belum bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan walaupun para guru sudah menyelesaikan pelatihan bahasa Inggris. Mereka belum siap dan merasa belum memiliki ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran bilingual walaupun mereka sudah mengikuti kursus dan pelatihan bahasa Inggris selama beberapa bulan. Keprihatinan ini perlu dicermati karena sebuah survei yang dilakukan oleh Astika, Wahyana, dan Andreyana (2008) tentang evaluasi diri menyangkut kemampuan dan ketrampilan bahasa Inggris dalam hubungannya dengan pembelajaran kelas bilingual menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Hasil survei menunjukkan bahwa semua guru yang menjadi sampel menyatakan mereka mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang substansi mata pelajaran. Hal ini bisa dimengerti karena mereka mempunyai keahlian dalam mata pelajaran yang selama ini diampu. Dalam hal penguasaan bahasa Inggris, hasil survei menunjukkan kelemahan guru yang sangat mendasar, yaitu: (a) sebanyak 33,3 % responden menyatakan tidak memiliki bakat berbahasa Inggris, (b) sebanyak 66,7 % responden tidak dapat mengevaluasi efektifitas materi pelajaran dalam bahasa Inggris namun mereka dapat memahami konsepnya, (c) sebanyak 77,8 % responden tidak dapat menerangkan konsep materi dalam bahasa Inggris, dan (d) semua responden (100 %) tidak mampu menjelaskan tata bahasa yang ada dalam materi pelajaran. Walupun kemampuan bahasa Inggris guru sangat kurang, mereka (100 %) mempunyai keinginan untuk selalu mengembangkan pengetahuan bahasa Inggris melalui pelatihan atau kursus. Hal lain yang menggembirakan ialah adanya fasilitas pendukung PBM berupa laboratorium komputer yang terhubung dengan internet yang cukup memadai dan 100 % responden berpendapat bahwa dukungan sekolah untuk melaksanakan program bilingual sudah bagus.

Kelas bilingual adalah kelas ESP

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahan ajar di kelas bilingual harus disajikan dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu kelas bilingual merupakan salah satu bentuk pengajaran content-based instruction (Dudley-Evans & St John, 1998) karena bahan ajar dibuat berdasarkan silabus mata pelajaran. Dalam konteks SBI, mengajar dengan medium bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk program ESP (Hutchinson & Waters, 2006). Bentuk lain dari content-based instruction ialah program imersi di mana proses belajar mengajar sepenuhnya memakai bahasa Inggris. Keunggulan kelas bilingual ialah materi pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris dan relevan dengan kurikulum atau kebutuhan akademik siswa. Dengan demikian pengajaran menjadi sangat bermakna dan dapat menjadi faktor pendorong motivasi belajar.

Guru bilingual di SBI adalah guru ESP dan mempunyai tiga macam peran dalam menjalankan tugasnya: (a) sebagai praktisi, (b) sebagai perancang materi, dan (c) sebagai evaluator. Sebagai praktisi, guru mempunyai tugas untuk mendesain dan mengatur proses belajar mengajar, memberi penjelasan masalah-masalah kebahasaan (bahasa Inggris), dan secara terus menerus mengembangkan kemampuan bahasa Inggris siswa. Dalam perannya sebagai perancang materi, guru mempunyai tugas untuk merencanakan PBM, memilih materi yang cocok dengan silabus, memodifikasi materi supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, atau membuat materi yang baru sama sekali jika materi yang siap pakai tidak ada. Sebagai evaluator, guru mempunyai tugas untuk mengevaluasi efektivitas materi pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap pemerolehan belajar siswa. Ketiga peran tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik jika bahasa Inggris merupakan bahasa pertama atau bahasa kedua, dan guru ESP tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris karena mereka adalah penutur asli bahasa Inggris. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus dipelajari dan diajarkan dengan model pendekatan yang berbeda dengan model pendekatan pembelajaran di negara-negara yang berbahasa Inggris di mana para guru ESP tidak mempunyai masalah dengan bahasa pengantar. Masalah yang dihadapi oleh guru bilingual SBI ialah pengetahuan dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris.

Dalam menjalankan proses belajar mengajar, guru bilingual SBI harus mempunyai dua macam pengetahuan kebahasaan, yaitu pengetahuan tentang istilah tehnis (technical vocabulary) dalam mata pelajaran tertentu dan pengetahuan tentang tata bahasa Inggris. Menerangkan konsep yang terkandung dalam istilah-istilah tehnis mungkin bukan merupakan masalah yang terlalu berat karena guru sudah mempunyai latar belakang ilmu yang diajarkan. Ini merupakan kekuatan bagi guru bilingual. Yang perlu harus dikembangkan ialah pengetahuan tentang tata bahasa dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris baik untuk keperluan umum (non-pedagogis) maupun untuk mengajarkan materi pelajaran (ketrampilan pedagogis). Bagaimanapun juga, mengajarkan suatu topik mata pelajaran dengan pengantar bahasa Inggris tidak bisa lepas dari pengajaran tata bahasa walaupun cara mangajarkannya tidak persis sama seperti mengajarkan tata bahasa dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (English for General Purposes) pada umumnya.

Dalam mengajar, guru bilingual akan selalu mengadakan interaksi verbal dengan siswa baik satu arah maupun dua arah. Dalam hubungan ini, ada berbagai fungsi bahasa yang perlu dikuasai dalam mengajarkan materi (content knowledge), misalnya saja: menjelaskan konsep, melaporkan kejadian tertentu, memberikan definisi, memberi instruksi, menjelaskan proses, menjelaskan klasifikasi, memberi contoh, menerangkan tabel, gambar, ilustrasi, atau grafik, membandingkan dua masalah, membuat kesimpulan, dll.(Gillet, 2007). Fungsi-fungsi bahasa seperti ini memerlukan transactional skills, yaitu ketrampilan untuk menyampaikan infromasi yang bersifat satu arah, dan interactional skills, yaitu ketrampilan untuk melakukan interaksi bahasa dua arah, misalnya dalam diskusi walaupun dalam bentuk sederhana, atau dalam menjawab pertanyaan atau memberikan feedback (Yule, 1997). Dalam proses pembelajaran bahasa, dikenal dua macam feedback, yaitu feedback terhadap kesalahan tata bahasa (Doughty & Williams, 1998) dan feedback terhadap masalah makna komunikasi seperti yang terungkap dalam penelitian oleh Astika (2007). Kedua macam feedback tersebut bisa juga dilakukan dalam bentuk tulis jika assessment terhadap hasil pembelajaran siswa dilakukan dalam bentuk tertulis, atau dalam bentuk dialog (Weisberg, 2006), di mana guru, selama proses belajar berlangsung, berdialog dengan siswa agar siswa dapat menyelesaikan tugas. Sudah barang tentu guru harus memiliki ketrampilan bahasa Inggris tingkat lanjut.

Masalah linguistik dalam kelas bilingual

Manfaat pengajaran bahasa Inggris yang berdasarkan pada content telah banyak dibahas di dalam literatur yang menunjukkan keunggulan pendekatan ini dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa dan substansi mata pelajaran. Dalam pendekatan ini peran tata bahasa tidak dapat diabaikan. Menurut Chin dan Wigglesworth (2007), pemahaman suatu konsep dan pemerolehan bahasa dalam pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh bimbingan yang jelas tentang masalah kebahasaan dan konsep-konsep esensial dalam ilmu tertentu. Dengan kata lain, pemahaman konsep tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang masalah kebahasaan. Oleh sebab itu ketrampilan menerangkan konsep dan tata bahasa merupakan syarat mutlak bagi guru bilingual. Pentingnya peran bahasa dalam memahami suatu ilmu dijelaskan oleh Chin dan Wiggleswroth (2007) yang mengutip pernyataan Halliday sebagai berikut,

… language is the essential condition of knowing, the process by which experience becomes knowledge that would lead to the realization that ‘knowledge’ itself is constructed in varying patterns of discourse’. A key way for enhancing mental abilities is through enhancing learners’ text-based language patterns.

Jadi pemahaman yang tepat tentang suatu pokok bahasan dapat terjadi bila bahasa dan konsep tidak diterangkan secara terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh dan diajarkan bersamaan melalui langkah-langkah pedagogis yang disusun secara cermat. Pemahaman teks sangat bergantung kepada konsep linguistik. Siswa yang tidak dapat memahami suatu konsep dapat disebabkan oleh bahasa guru yang tidak mencerminkan penguasaan masalah kebahasaan. Sebuah teks bahasa Inggris selalu memakai penanda linguistik yang menunjukkan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain. Pemahaman teks yang tidak lengkap bisa terjadi karena tidak dipahaminya fungsi dari penanda linguistik dalam suatu kalimat atau antar kalimat. Sebuah paragraf bukan merupakan kumpulan kalimat yang terpisah-pisah, ada banyak penanda linguistik yang menunjukkan hubungan ide antar kalimat yang membuat teks menjadi kohesif. Di kelas bilingual, ketrampilan untuk memahami fungsi penanda linguistik perlu diajarkan untuk memahami informasi tertentu, misalnya memahami contoh, klasifikasi, hubungan sebab akibat, deskripsi, kesimpulan, argumen, dan sebagainya.

Task sebagai dasar pengajaran di kelas bilingual

Salah satu pendekatan mengajar bahasa yang sedang berkembang ialah pendekatan yang didasarkan pada task. Pendekatan ini dapat dicoba di kelas bilingual. Menurut Nunan (2004), task ialah,

a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating, producing or interacting in the target language while their attention is focused on mobilizing their grammatical knowledge in order to express meaning and in which their intention is to convey meaning rather than to manipulate form.

Pemahaman terhadap task seperti inilah yang sebaiknya diterapkan dalam mengajarkan mata pelajaran kelas bilingual di SBI. Dalam konteks SBI, di mana bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar, menyelesaikan sebuah tugas (task completion) dalam proses belajar di kelas memerlukan keterampilan menggunakan tata bahasa Inggris (language forms) dan pemahaman terhadap substansi materi pelajaran (meaning or content knowledge). Jadi bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Pemahaman ini dapat diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pedagogis menggunakan sebuah pedagogical framework (Willis, 1996, 2005) yang terdiri dari pre-task, task cycle, dan feedback. Pada tahap pre-task, guru menerangkan konsep-konsep penting dari materi pelajaran (technical dan semi-technical vocabulary), hubungan antar-konsep, dan masalah-masalah kebahasaan yang esensial untuk memahami materi atau teks. Pada langkah task cycle, guru memberi dan menerangkan tugas (task) yang akan dikerjakan siswa, menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses mengerjakan tugas, dan pada tahap feedback, guru memberi masukan terhadap hasil pekerjaan siswa. Masukan bisa ditujukan untuk perbaikan substansi tugas atau bisa juga untuk kesalahan bahasa Inggris. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan seperti ini guru perlu menguasai keterampilan memakai fungsi-fungsi bahasa dan keterampilan memberikan feedback baik pada waktu pelajaran berlangsung maupun feedback untuk tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa.

Pengajaran berdasarkan pada task mempunyai landasan teoritis yang sangat kuat. Teori yang dijadikan dasar pendekatan ini ialah interactionist theory (Pica, Kanagy, & Falodun, 1993). Teori ini mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk belajar ialah melalui interaksi. Di kelas ada banyak kesempatan untuk mendengarkan dan memahami konsep-konsep baru, bertukar pendapat, bertukar pikiran antar siswa maupun dengan guru. Tujuan belajar bukan hanya untuk memahami konsep, tetapi juga untuk melatih kemampuan memakai bahasa (Inggris) sebagai sarana untuk bertukar pikiran atau pendapat dalam usaha untuk mencapai tujuan dari tugas yang diberikan (task goal). Dalam hubungan ini, Long (1983, 1996) mengemukakan bahwa pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh input yang dapat dimengerti (comprehensible input) sebagai hasil dari interaksi yang bermakna.

Implikasi dari teori ini ialah bahwa agar terjadi pembelajaran di kelas, perlu diciptakan kesempatan bagi siswa untuk mangadakan interaksi sebab interaksi merupakan pra-syarat penting untuk terjadinya pembelajaran. Hal ini dapat terjadi jika kegiatan belajar dirancang berdasarkan pada task atau pemberian tugas. Bahan pelajaran yang dianggap dapat mendorong terjadinya interaksi antar siswa ialah bahan pelajaran yang, antara lain: (a) mengharuskan siswa untuk saling bertukar informasi, (b) berisi informasi yang harus disampaikan dengan cara dua arah, (c) mempunyai tujuan yang jelas, (d) mengandung masalah yang harus dipecahkan bersama.

Teori lain yang mendasari model pembelajaran berdasarkan task ialah sociocultural theory yang mengatakan bahwa dalam komunikasi, orang akan melakukan aktivitas secara bersama-sama sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian dalam bidang ini (Ellis, 2000) menunjukkan bahwa komunikasi bergantung pada interaksi antara penutur dan petutur, bukan karakteristik dari task itu sendiri. Task yang sama dapat menghasilkan interaksi yang berbeda jika dilakukan oleh orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda atau bahkan dalam waktu yang sama. Pembelajaran dapat terjadi jika siswa terlibat dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu satu sama lain, misalnya dengan teknik belajar kolaboratif (Wee & Jacobs, 2006). Ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya pembelajaran, guru perlu merancang kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu mengerjakan tugas yang diberikan guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa guru bilingual harus memiliki keterampilan tambahan di samping penguasaan konsep materi mata pelajaran, yaitu keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan menggunakan bahasa tersebut dalam proses belajar mengajar termasuk keterampilan pengiring dalam pengelolaan PBM.

Model kelas bilingual yang bisa dikembangkan

SBI merupakan perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Perkembangan ini memerlukan pembaruan daya dukung berupa sarana dan prasarana pendidikan, sistem manajemen sekolah, dan guru yang berkualitas yang dapat menguasai teknologi informasi. Sistem pembelajaran yang konvensional yang bergantung pada papan tulis dan kapur dan dibatasi oleh ruang kelas yang statis tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung sistem pembelajaran yang dituntut oleh SBI. Oleh sebab itu perlu dirancang model pembelajaran yang dapat mengakomodasi cita-cita SBI dan perkembangan teknologi agar pembelajaran dapat efektif dan kompetitif. Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

interaksi kelas bilinngual

Model ini menunjukkan bahwa dalam kelas bilingual perlu ada dua orang guru, misalnya guru bahasa Inggris yang bertanggung jawab mengajarkan masalah-masalah kebahasaan (Inggris) dan guru Matematika yang bertanggung jawab mengajarkan substansi pelajaran – matematika. Bahan ajar dalam model seperti ini sudah tentu harus dalam bahasa Inggris. Dalam pelaksanaan pembelajaran, konsep-konsep matematika dapat diajarkan terlebih dahulu oleh guru Matematika dalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dalam bahasa Inggris yang dikuasainya dengan baik. Sesudah itu guru bahasa Inggris mengajarkan masalah-masalah kebahasaan dalam bahasa Inggris yang diperlukan untuk memahami bahan ajar matematika dalam bahasa Inggris. Karena siswa sudah diajar konsep-konsep matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang pokok bahasan dan pengetahuan ini dapat membantu pemahaman mereka untuk mengetahui bahan tersebut dalam bahasa Inggris. Dengan model seperti ini, kelemahan guru Matematika yaitu kurangnya kemampuan bahasa Inggris, dapat dibantu oleh guru bahasa Inggris dan guru bahasa Inggris tidak perlu lagi mengajarkan konsep-konsep matematika. Dalam kondisi yang ada sekarang di mana guru mata pelajaran belum sepenuhnya dapat mengajar kelas bilingual secara mandiri, pendampingan guru bahasa Inggris dengan model ini sangat diperlukan. Model ini dapat membantu siswa menguasai substansi mata pelajaran dan bahasa Inggris secara bersamaan. Keberhasilan dari model ini sudah tentu akan bergantung kepada banyak faktor. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa kerjasama kedua orang guru harus mulai dari pembahasan tentang KTSP, desain silabus, seleksi dan atau adaptasi materi, dan proses belajar mengajar di kelas. Setiap tahap dari pengembangan model ini harus disertai dengan evaluasi dengan mempertimbangkan konteks belajar (learning needs) dan tujuan belajar (target needs) seperti yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

model kelas bilingualModel seperti ini juga disebut co-teaching (Liu, 2008) yang dikembangkan di sekolah dasar di Cina dalam kelas-kelas bilingual. Guru yang terlibat dalam co-teaching ialah guru penutur asli berbahasa Inggris dan guru lokal. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, mereka bekerjasama mulai dari perencanaan pelajaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi. Model ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Di Indonesia, untuk memperoleh guru penutur asli berbahasa Inggris sangat sulit. Namun demikian, kendala ini bisa diatasi dengan melibatkan guru bahasa Inggris yang ada di sekolah dengan mempertimbangkan masalah-masalah administratif dan manajerial sekolah.

Menurut Liu (2008), co-teaching atau team teaching sekarang semakin populer karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan kualitas pembelajaran yang bagus dan dapat mengembangkan ketrampilan guru yang terlibat dalam proses PBM. Sistem mengajar ini telah diterapkan di banyak negera tidak hanya di negara negara barat tetapi juga di Asia.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan team teaching (Liu, 2008). Dalam team teaching, guru-guru yang terlibat mempunyai tanggung jawab dan status yang sama. Secara bersama-sama mereka mendesain perencanaan mengajar, mengadakan evaluasi dan bertanggung jawab kepada semua siswa di kelas. Guru bahasa Inggris dalam team teaching tidak lagi dianggap sebagai asisten guru mata pelajaran, tetapi dianggap sebagai sumber pengetahuan, fasilitator, dan guru yang mempunyai status yang sama. Dengan kata lain, kedua guru secara efektif saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses belajar mengajar.

Model team teaching ini bisa berhasil hanya jika kedua guru memiliki ketrampilan dan hubungan kerja yang kuat, profesional, mempunyai rasa saling percaya, bersedia menyediakan waktu yang cukup untuk mewujudkan tujuan pengajaran. Guru yang terlibat dalam team teaching harus mempunyai pengalaman mengajar yang cukup. Mereka perlu memahami peran masing-masing di kelas, jika tidak, hal ini dapat mempengaruhi kenerja team dan dapat dianggap sebagai kompetisi antara guru dalam team, yang akhirnya dapat melemahkan semangat kerja. Team teaching harus dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan kompetensi mengajar dan melengkapi kelemahan masing-masing sebagai guru kelas bilingual.

Strategi pelaksanaan team teaching harus juga dipersiapkan dengan seksama, antara lain,

1. Persiapan

Dalam tahap ini, guru mata pelajaran dan guru bahasa Inggris membicarakan bagaimana cara mengajar siswa secara efektif. Diskusi difokuskan pertama-tama pada tingkat kemampuan siswa secara keseluruhan dalam kelas yang akan diajar, kekuatan dan kelemahan mereka, aspek apa yang perlu diperhatikan, masalah disiplin, dll. Guru dalam team harus menetapkan tujuan mengajar, menentukan topik bahasan untuk satu semester. Persiapan ini bisa memerlukan beberapa pertemuan agar setiap guru memahami apa yang menjadi target pembelajaran dan memahami ciri-ciri pengajaran dalam team, dan mengembangakan rasa percaya diri.

Model pengajaran ini juga memerlukan pertemuan dan diskusi secara teratur selama semester berjalan untuk merencanakan persiapan pengajaran. Oleh sebab itu sangat penting membuat jadwal yang teratur untuk mengadakan pertemuan dan merencanakan unit-unit pelajaran, antara lain menyangkut:

1. apa yang akan diajarkan,
2. materi atau sumber belajar yang akan dipakai,
3. peran dan tanggung jawab masing-masing guru,
4. bagaimana mengevaluasi belajar siswa, dan
5. bagaimana cara membantu siswa yang lemah dan perlu bantuan.

Masalah-masalah ini memerlukan diskusi mendalam agar peran dan tanggung jawab masing-masing guru menjadi jelas. Setiap guru harus mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat dan memberikan kontribusi positif dalam membuat rencana pelajaran. Pada dasarnya, setiap guru dalam team perlu menyadari pentingnya toleransi, adanya perbedaan, dan mencari jalan untuk membuat perencanaan yang bermanfaat bagi siswa.

2. Pelaksanaan

Dalam implementasinya, model team teaching memerlukan dukungan manajerial dan administratif. Guru akan memerlukan waktu lebih banyak, program akan mempunyai dampak terhadap fasilitas mengajar, jadwal mengajar, dan dukungan finansial dalam pengadaan alat dan sumber belajar. Keberhasilan team teaching akan sangat bergantung kepada manajemen sekolah yang harus mengambil langkah-langkah berikut (Liu, 2008):

1. menciptakan kondisi kerja yang kondusif bagi guru dalam team untuk merencanakan pelajaran,
2. membagi beban mengajar secara proporsional untuk guru dalam team,
3. bersama-sama dengan semua guru menciptakan kegiatan yang dapat membangun ralasi yang harmonis dan produktif,
4. membangun kesadaran yang kuat akan pentingnya kerjasama dalam menangani isu pendidikan dalam model team teaching agar terbentuk kondisi yang dapat mendukung keberhasilan program.

Tanpa dukungan yang terus-menerus dari manajemen sekolah, semangat model team teaching bisa berubah menjadi frustasi dan implementasinya akan menghasilkan pembelajaran yang tidak efektif. Menurut Elena (2006), efektivitas seseorang dapat berkembang melalui dorongan dan dukungan orang lain. Setiap orang dapat diyakinkan bahwa dia memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu dan mencapai keberhasilan. Dukungan dan dorongan secara verbal dapat meningkatkan usaha seseorang untuk mencapai tujuan, bukannya menyerah ketika dia mengalami hambatan.

Menurut Lee (2008), dari hasil penelitiannya tentang team teaching, rahasia keberhasilan terletak pada adanya sikap terbuka dari guru dan cara menghindari konflik dalam team. Mereka melaksanakan perannya secara fleksibel, kadang-kadang sebagai ‘asisten’ kadang kadang sebagai guru utama (pemimpin) dengan tetap berpedoman kepada tujuan dan arah pembelajaran. Mereka percaya bahwa setiap guru harus bersedia untuk saling mendengarkan dan menerima saran satu sama lain, mempelajari masalah yang muncul, dan mencari win-win solution. Dalam proses merencanakan kelas bilingual perlu disadari bahwa pertemuan yang teratur antara guru bahasa Inggris dan guru mata pelajaran mutlak harus dilaksanakan. Oleh sebab guru-guru dalam team harus membangun komitmen yang berkelanjutan dan menyediakan waktu untuk merencanakan kelas bilingual.

Penutup

Artikel ini memaparkan sebuah model yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan sistem pembelajaran kelas bilingual di SBI. Model ini mempunyai beberapa implikasi yang perlu diperhatikan. Pertama, pengembangan profesional guru kelas bilingual dan guru bahasa Inggris. Guru mata pelajaran jelas memerlukan pelatihan untuk mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris. Yang perlu diperhatikan ialah pelatihan jenis apa yang dapat membekali mereka agar bisa mandiri mengajar kelas bilingual. Guru bahasa Inggris mungkin perlu training tambahan untuk memahami seluk beluk pembelajaran ESP di sekolah menengah. Kedua, dukungan administratif dan manajerial dari pihak sekolah mutlak diperlukan. Model ini memberi tambahan beban mengajar kepada guru bahasa Inggris yang pada umumnya sudah mendapat beban mengajar yang maksimal. Demikian juga dengan guru mata pelajaran, mereka memiliki beban tambahan untuk mempelajari bahan ajar yang memakai bahasa Inggris. Untuk memastikan apakah model ini dapat diterapkan, perlu kiranya didesain sebuah pilot study sebelum model ini diterapkan di semua kelas bilingual.

Daftar Pustaka

Astika, G. (2007). Readings in Language Teaching and Research. Salatiga: Widya Sari Press.

Astika, G, Wahyana, A, & Andreyana, R. (2008). Kemampuan bahasa Inggris guru SMA Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Salatiga dalam mendukung program SBI. Laporan penelitian, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Chin, NgBee, and Wigglesworth, G. (2007). Bilingualism: an Advanced resource book. Abigdon: Routledge.

Dharma, S. (2007). Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz? Http://www.ask.com. Accessed: 19 June 2009

Doughty, C. & Williams, J. (1998). Pedagogical choices in focus on form. In C. Doughty and J. Williams (Eds.), Focus on Form in Classroom Second Language Acquisition (pp.197-261). New York: Cambridge University Press.

Dudley-Evans, T., & St John, M. J. (1998). Developments in ESP: A multi-disciplinary approach. New York: Cambridge University Press.

Elena, S. L. (2006). Recruiting Paraeducators Into Bilingual Teaching Roles: The Importance of Support, Supervision, and Self-Efficacy. Bilingual Research Journal.

Ellis, R. (2000). Task-based research and language pedagogy. Language Teaching Research, 4(3), 193-220.

Gillett, A. (2007). Using English for Academic Purposes. Http://www. UEfAP, Speaking in Academic Contexts, html. Accessed: May 9, 2008.

Hutchinson, T. & Waters, A. (2006). English for Specific Purposes. Cambridge: Cambridge University Press.

Lee, C. (2008). Interdisciplinary collaboration in English language teaching: Some observations from subject teachers’ reflections. Reflections on English Language Teaching, vol 7, (2), 129-138.)

Liu, L. (2008). Co-teaching between native and non-native English teachers: An exploration of co-teaching models and strategies in the Chinese primary school context. Reflections on English language teaching, vol 7 (2), 103-117.

Long, M. H. (1983). Inside the ‘black box’: methodological issues in classroom research on language learning. In H. W. Seliger & M. H. Long (Eds.), Classroom Oriented Research in Second Language Acquisition (pp. 3-38). Cambridge: Newbury House.

Long, M. H. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. In W. Ritchie & T. Bhatia (Eds.), Handbook of Research on Second Language Acquisition. New York: Academic.

Menuju sekolah bertaraf internasioanal. ­Http://sbisman5bekasi.blogspot.com/ Accessed: 20 June 2009

Nunan, D. (2004). Task Based Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Pica, T., Kanagy, R., & Falodun, J. (1993). Choosing and Using Communication Tasks for Second Language Instruction. In G. Crookes & S. M. Gass (Eds.), Tasks and Language Learning: Integrating Theory and Practice (pp. 9-34). Philadelphia: Multilingual Matters.

Sofa (2009). Konsep Sekolah Bertaraf Internasional. Http://massofa.wordpress.com. Accessed: 20 June 2009

Wee, S. & Jacobs, G.M. (2006). Implementing cooperative learning with secondary school students. In S.G. McCafferty & G. M. Jacobs (Eds). Cooperative Learning and Second Language Teaching (pp. 113-133). Cambridge: Cambridge University Press.

Weisberg, R. (2006). Scaffolded feedback: Tutorial conversations with advanced L2 writers. In K. Hyland & F. Hyland (Eds.). Feedback in Second Language Writing (pp. 246-265). Cambridge: Cambridge University Press.

Willis, J. (1996). A Framework for Task-Based Learning. Harlow: Addison Wesley, Longman.

Willis, J. (2005). Aims and explorations into tasks and task-based teaching. In C. Edwards & J. Willis (Eds.), Teachers Exploring Tasks in English Language Teaching (pp. 1-12). New York: Palgrave McMillan.

Yule, G. (1997). Referential Communication Tasks. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates.

Keterangan:

Gusti Astika adalah guru besar pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

klik disini untuk sumber

Kamis, 03 Maret 2011

Makalah Semnas Palembang
KEMAMPUAN SISWA SMP MENYELESAIKAN SOAL-SOALPEMECAHAN MASALAH MATEMATIK BERBASIS POTENSI PESISIR[1]

Kadir, S.Pd., M.Si.[2]

Email: kadir168@yahoo.com


Abstrak: Artikel ini membahas tentang kemampuan pemecahan masalah matematik berbasis potensi pesisir. Kemampuan ini penting diukur karena merupakan bagian dari tujuan pemberian matematika di SMP dan prinsip pengembangan KTSP memberikan peluang memasukkan potensi pesisir dalam soal-soal matematika. Penggunaan masalah kontekstual pesisir bermanfaat untuk (1) mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan berbagai habitat di sekitarnya. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes pemecahan masalah matematik. Tes diberikan kepada 65 siswa kelas VIII dan 77 siswa kelas IX dari dua sekolah, SMPN 4 Bau-Bau dan SMPN 5 Kendari. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal-soal matematik berbentuk esay yang memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir masih rendah dengan rata-rata sebesar 3,48; deviasi standar 2,33; nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4 (data dalam skala 0 – 10). Dari tiga indikator pemecahan masalah, sebanyak 38,03 % siswa mampu memahami masalah, 35,21 % mampu menyelesaikan masalah, dan 36,48 % mampu menjawab masalah. Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih rendah sehingga perlu mendapatkan pemecahan segera. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membiasakan siswa belajar berdasarkan masalah pesisir dan mengkaitkannya dengan matematika.

Kata kunci: kemampuan pemecahan masalah matematik, indikator pemecahan masalah matematik, masalah kontekstual berbasis potensi pesisir


PENDAHULUAN

Pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari lima standar proses yang dikemukakan NCTM, selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan representasi matematik. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks (Gagne dalam Ruseffendi, 2006: 166) dan merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika (NCTM, 1989 dalam Kirkley, 2003: 1). Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik ini dapat membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif.

Untuk dapat memecahkan masalah, siswa terlebih dahulu harus dapat memahami masalah yang ditunjukkan dengan menyusun persamaan atau model matematika, merencanakan penyelesaian dan melaksanakannya, dan menjawab masalah. Jika dikaitkan dengan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dipelajari dan sulit diajarkan, maka siswa seharusnya dibiasakan belajar pemecahan masalah. Namun kenyataannya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan formal belum mengupayakan terbentuknya kemampuan ini pada diri setiap siswa.

Menurut Shadiq (2007: 2), proses pembelajaran (matematika) di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kurang berkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari (kurang penerapan, kurang membumi, kurang realistik, ataupun kurang kontekstual). Penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar (basic skills), namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi matematik, dan bernalar secara matematik. Pembelajaran matematika yang kurang kontekstual menjadi bagian yang menarik untuk dikaji karena konteks masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan secara umum siswa bertempat tinggal di daerah pesisir.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki kekayaan sumberdaya pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Bahkan, berbagai perilaku deskruptif masyarakat pesisir seperti pemanfaatan perluasan daratan untuk reklamasi pantai, penebangan pohon bakau (mangrove), pencemaran perairan oleh lumpur, penambatan jangkar perahu, pencemaran limbah, tumpahan minyak, dan lain-lain (Majalah Demersial, April 2007) telah mempercepat laju kerusakan sumberdaya pesisir tersebut.

Pemerintah melalui Depdiknas dan Departemen Kelautan dan Perikanan telah meletakkan sandaran utama pembangunan masyarakat pesisir yang menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan daya dukung lingkungan menuju pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Sandaran tersebut sejalan dengan sasaran program UNESCO dalam pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD) yang ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Perhatian ini didasarkan pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) untuk berpartisipasi dalam upaya pemecahan masalah pembangunan wilayah pesisir. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan pendidikan pesisir difokuskan pada siswa jenjang pendidikan SMP (secondary level), generasi muda yang sangat perlu disiapkan sejak dini untuk keberlanjutan pembangunan yang lebih baik.

SDM pesisir yang berkualitas mestinya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Kemampuan ini dapat dilatihkan dalam pembelajaran matematika dengan merancang suatu proses pembelajaran yang dapat memanfaatkan segala potensi pesisir dan permasalahannya. Potensi dan permasalahan pesisir tersebut dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika atau dalam bentuk soal-soal cerita matematik. Pembelajaran seperti ini, di samping untuk menanamkan nilai-nilai matematika kepada siswa, juga agar siswa menjadi good problem solver untuk mencapai kesejahteraan hidup. Untuk mampu merancang pembelajaran matematika yang demikian dibutuhkan berbagai informasi tentang potensi dan permasalahan pesisir serta kaitannya dengan matematika.

Informasi tentang berbagai potensi dan permasalahan pesisir yang tertuang dalam soal-soal matematika selama ini masih sangat rendah. Hasil penelitian penulis terhadap berbagai buku acuan yang beredar dan dipakai pada setiap jenjang pendidikan khususnya di SMP menunjukkan bahwa sangat sedikit potensi dan permasalahan pesisir yang tertuang dalam soal-soal matematika. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam mengupayakan pembelajaran matematika secara kontekstual pada siswa di daerah pesisir. Ada beberapa akibat yang dapat dilihat dari kondisi ini, yaitu: partisipasi aktif siswa bersekolah rendah, banyaknya siswa putus sekolah, materi matematika yang dipelajari tidak tersimpan lama dalam memori siswa, rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang permasalahan dan cara pelestarian potensi pesisir, matematika tetap merupakan mata pelajaran yang tidak berkontribusi pada kehidupan, dan bersekolah hanya menghabiskan waktu. Kondisi-kondisi seperti ini seharusnya diubah karena pada masa yang akan datang, generasi muda ini merupakan tulang punggung pelestarian potensi pesisir.

Potensi dan permasalahan pembangunan wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan (Dahuri et al., 2001). Sumberdaya dapat pulih berupa hutan mangrove (bakau), terumbu karang, rumput laut, dan sumberdaya perikanan laut. Sumber daya tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi seperti minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, biji besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil, dan batu pondasi. Sedangkan jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. Penggunaan potensi dan masalah pesisir sebagai masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika baik dalam bentuk soal latihan maupun sebagai titik awal pembelajaran akan dapat menciptakan suasana belajar yang bermakna bagi siswa. Suasana belajar seperti ini sangat dibutuhkan untuk mengembangkan daya matematika siswa.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanaka pada bulan April - Mei 2009. Peneliti tidak memberikan perlakuan kepada siswa sampel yang diteliti. Sebanyak 142 siswa sampel yang terpilih secara acak, yaitu 65 siswa kelas VIII dan 77 siswa kelas IX dari dua sekolah, SMP Negeri 4 Bau-Bau dan SMP Negeri 5 Kendari hanya diberikan tes pemecahan masalah matematik. Redaksi dan gambar yang ada pada setiap item tes menggunakan gambar potensi dan permasalahan pesisir. Tes yang disusun oleh peneliti ini berbentuk esay dan terdiri dari 5 item serta telah divalidasi oleh para penimbang yang kompeten secara seragam. Skor maksimal setiap item tes adalah 10 sehingga skor maksimal yang dapat diperoleh setiap siswa adalah 50 dan skor minimal siswa adalah 0. Sebelum diolah lebih jauh, skor perolehan siswa dikonversi terlebih dahulu ke nilai dalam skala 0 – 10 dengan cara:

nilai perolehan siswa (x) = (skor perolehan/skor ideal) x 10.

Nilai siswa hasil konversi inilah kemudian yang diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan mencari rata-rata, deviasi standar (S), nilai maksimum, nilai minimum, dan distribusi frekuensi nilai perolehan siswa yang dibagi dalam lima interval kategori, yaitu sangat tinggi (x >= 8), tinggi (7<= x <> x <><= x <>x <>


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa hanya sebesar 3,48 dengan deviasi standar 2,33, nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4. Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik baik berbentuk soal cerita maupun soal berbentuk gambar masih sangat rendah. Hasil ini dapat juga dilihat dari distribusi frekuensi kategori kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik. Siswa yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam memecahkan masalah matematik sebanyak 4 orang (2,82 %), tinggi sebanyak 8 orang (5,63 %), sedang sebanyak 19 orang ( 13,4 %), rendah sebanyak 15 orang (10,6 %), dan sangat rendah sebanyak 96 orang (67,6 %). Hasil ini memperlihatkan bahwa secara umum kemampuan siswa masih berada pada kategori sangat rendah dalam memecahkan masalah matematik yang berkaitan dengan potensi dan permasalahan pesisir. Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian lain tentang pemecahan masalah matematik, antara lain Helmaheri (2004), Hulukati (2005), Suhendri (2006), Noer (2007), dan Kadir (2009).

Dari beberapa hasil penelitian tersebut terungkap bahwa ada beberapa faktor penyebab rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah rendahnya pengetahuan dasar matematika yang dimiliki siswa dan proses pembelajaran matematika yang tidak variatif serta lebih condong mekanistik dan tidak membiasakan siswa berpikir tingkat tinggi dengan soal-soal open-ended. Proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru masih konvensional yang juga dikenal dengan istilah tradisional, yaitu suatu pembelajaran yang lebih fokus pada metode ekspositori (ceramah bervariasi) sehingga pembelajaran masih berfokus pada guru (teacher centered). Dominasi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sudah seharusnya dikurangi dan memberi peluang otonomi kepada siswa sedikit demi sedikit untuk aktif berkreasi mengikuti proses pembelajaran dan memecahkan masalah yang diberikan guru. Tujuan pembelajaran guru yang masih instant (sebagaimana dikemukakan oleh Shadiq pada bagian pendahulan di atas), yaitu agar siswa dapat menyelesaikan soal-soal ujian secara baik, sudah seharusnya diubah ke penekanan pada proses untuk mencapai hasil melalui berbagai strategi yang ada ataupun menemukan strategi baru dari beragam masalah yang diberikan. Peran soal-soal open-ended yang memiliki ciri banyak cara penyelesaian dan banyak jawab sangat dibutuhkan untuk senantiasa diberikan kepada siswa selama proses pembelajaran matematika.

Jika dilihat dari langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan menjawab masalah, maka hasil analisis data menunjukkan bahwa proses menyelesaikan masalah merupakan kemampuan siswa yang paling rendah (kemampuan siswa hanya 35,21 %). Kemampuan siswa tertinggi terlihat dari kemampuan mereka dalam memahami masalah dengan persentase sebesar 38,03%. Sementara kemampuan siswa dalam menjawab masalah sebesar 36,48 %.

Ketiga langkah penyelesaian masalah matematik di atas sekaligus merupakan indikator untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik. Ketiga langkah tersebut merupakan penyederhanaan dari empat langkah proses penyelesaian masalah yang dikemukakan oleh Polya (1985: 5 - 6), yaitu: understanding the problem (memahami masalah), devising a plan (merencanakan pemecahan), carrying out the plan (melakukan perhitungan), dan looking back (memeriksa kembali). Proses penyelesaian ini merupakan proses kognitif sebagaimana dikemukakan oleh Foshay dan Kirkley (2003: 4). Menurut Foshay dan Kirkley (2003: 4), pemecahan masalah adalah suatu proses yang kompleks. Pemecah masalah terkadang mengalami kegagalan tetapi juga terkadang memperoleh kesuksesan. Dalam memecahkan masalah, siswa membuat representasi masalah, mencari solusi, dan mengimplementasi solusi. Untuk melakukan proses ini, siswa melakukan recall semua pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika siswa mengalami kegagalan, maka ia akan mengecek kembali representasi masalah yang dibuat atau strategi solusi yang sudah dirancang. Peran penting masalah kontekstual yang telah dilatihkan ketika melaksanakan proses ini sangat dibutuhkan karena melalui pemberian masalah kontekstual dan berbagai proses penyelesaiannya, siswa dapat memperoleh makna dari materi yang dipelajari sehingga tersimpan lama dalam memori siswa.

Ketiga proses penyelesaian masalah di atas dapat dijabarkan dalam beberapa aspek untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik secara lebih detail. Kemampuan siswa memahami masalah, meliputi kemampuan: (a) mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah dan (b) membuat model/representasi masalah (Sternberg dan Ben-Zeev, 1996: 34) matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan: (a) memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan model atau masalah matematika dan atau di luar matematik; dan (b) menerapkan matematika secara bermakna. Sedangkan kemampuan menjawab masalah meliputi kemampuan: (a) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal dan (b) memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.

Dari beberapa aspek penjabaran indikator pemecahan masalah matematik di atas, aspek yang paling sulit diamati adalah aspek memeriksa kembali kebenaran hasil atau jawaban (looking back). Kita tidak dapat menelusuri informasi tentang aspek ini dari lembar jawaban siswa kecuali jika pada setiap soal termuat pertanyaan atau perintah agar siswa melakukan pengecekan kembali atas jawaban mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan, seperti “Apa Anda yakin dengan kebenaran jawaban yang Anda peroleh?”, “Bagaimakah Anda menjelaskannya?”, “Apakah tidak ada jawaban lainnya?”, dan sebagainya. Sayangnya, banyak pertanyaan yang diajukan pada setiap soal ujian tidak memuat pertanyaan atau perintah seperti ini. Demikian juga soal pemecahan masalah matematika yang diujikan dalam penelitian ini.

Apakah tidak ada cara lain untuk mengecek proses pengecekan kembali kebenaran jawaban yang dilakukan siswa selain cara di atas? Dalam penelitian ini, peneliti mencoba membuat terobosan dengan mengarahkan siswa untuk mengumpulkan lembar jawaban soal dan kertas cakaran siswa dalam menjawab setiap item soal. Hasilnya cukup menggembirakan. Beberapa siswa yang tidak sempat menuliskan hasil coretannya pada lembar jawaban dapat diberikan skor pada suatu soal tertentu karena tertulis pada kertas cakarannya hasil coretan perhitungan dan proses penyelesaian soal yang diujikan.

Kebijakan di atas dimungkinkan untuk dilaksanakan karena soal-soal berbentuk esay memerlukan proses pengerjaan yang cukup panjang dan proses berpikir yang sangat tinggi. Sebelum siswa menuliskan jawaban yang diperoleh pada lembar jawaban, mereka terlebih dahulu menuangkan ide proses penyelesaian soal pada lembar cakaran. Pada lembar cakaran ini dapat diketahui apakah siswa menebak jawaban soal, meniru langkah dan jawaban orang lain, mengecek kembali jawaban yang diperoleh dengan proses pengulangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, langkah mengumpulkan kembali kertas cakaran siswa dapat dijadikan salah satu cara untuk mengecek apakah siswa melakukan pengecekan kembali kebenaran jawaban mereka. Cara ini tentu kurang efisien karena terkadang beberapa siswa langsung mengerjakan soal pada lembar jawaban tanpa perlu mencakarnya terlebih dahulu pada kertas cakaran. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu yang dberikan sedangkan soal yang diujikan membutuhkan proses berpikir yang tidak mudah.

Proses berpikir yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah sangat terkait dengan penentuan langkah atau strategi yang digunakan. Suatu strategi penyelesaian masalah yang dipilih tergantung kepada pengetahuan siswa dan retensi yang ada terhadap berbagai strategi yang pernah digunakan dalam memecahkan masalah. Retensi ini tergantung kepada ketertarikan dan keterkaitan masalah yang diberikan dengan kebutuhan atau kehidupan siswa. Oleh karena itu, pemberian masalah dalam pembelajaran matematika seharusnya adalah masalah-masalah yang kontekstual.

Masalah kontekstual antar setiap daerah berbeda-beda. Memaksakan masalah kontekstual yang ada di buku untuk diberikan kepada setiap siswa secara seragam akan menyebabkan masalah tersebut tidak kontekstual lagi. Apalagi konteks masalah yang ada dibuku paket secara umum tidak dipahami atau tidak berkaitan dengan kehidupan siswa di daerah pesisir. Pemberian konteks seperti ini walaupun dipahami belum tentu menarik bagi siswa.

Lain halnya jika masalah yang diberikan kepada siswa diangkat langsung dari masalah pesisir. Agar lebih menarik, masalah tersebut diberikan dalam bentuk gambar potensi dan permasalahan pesisir atau dalam bentuk soal cerita aau gabungan keduanya. Hal ini dibenarkan karena sesuai dengan prinsip pengembangan KTSP yang memberikan peluang kepada setiap satuan pendidikan untuk memasukkan potensi lokal seperti potensi pesisir dalam menyusun kurikulum matematika. Salah satu upaya tersebut misalnya dengan menggunakan potensi dan permasalahan pesisir dalam soal-soal matematika.

Penggunaan masalah kontekstual pesisir dalam soal-soal matematika atau dalam pembelajaran matematika yang serba simbolik bermanfaat antara lain untuk (1) mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan berbagai habitat di sekitarnya. Soal-soal seperti ini akan menarik bagi siswa karena mereka pahami dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Soal-soal menarik seperti ini akan mempermudah siswa menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Menurut Huang (2004), beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya ketika menyelesaikan masalah sehari-hari. Masalah sehari-hari dimaksud merupakan masalah kontekstual yang tentu memiliki makna pada diri siswa karena berkaitan dengan hidup mereka. Aktifitas siswa dalam menemukan makna dapat diwujudkan ketika siswa menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah yang terjadi di lingkungannya. Keberhasilan siswa memecahkan masalah ini berdampak pada keyakinannya untuk berperan dan bertanggung jawab dalam kehidupannya di masyarakat dan membuat siswa tersebut meyakini bahwa pengetahuan yang dipelajarinya memberi kontribusi yang besar dalam hidupnya.


KESIMPULAN

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal-soal matematik berbentuk esay yang memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir masih rendah. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa hanya sebesar 3,48; deviasi standar 2,33; nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4 (data dalam skala 0 – 10). Dari tiga indikator pemecahan masalah matematik, sebanyak 38,03 % siswa mampu memahami masalah, 35,21 % mampu menyelesaikan masalah, dan 36,48 % mampu menjawab masalah.

Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa perlu dilakukan inovasi pembelajaran matematika dengan memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir agar: (1) kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir dapat ditingkatkan; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan habitat di sekitarnya.

DAFTAR RUJUKAN

Dahuri R. et al. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.

Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia: www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf [27 Mei 2008]

Helmaheri. (2004). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SLTP melalui Strategi Think-Talk-Write dalam Kelompok Kecil. Tesis PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Huang, Hsin-Mei E. (2004). The impact of context on children's performance in solving everyday mathematical problems with real-world settings. Journal of Research in Childhood Education. [Online]. Tersedia: http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-270803/The-impact-of-context-on.html [4 Pebruari 2008]

Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Kadir. (2009). Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII SMP. Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2009.

Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University: Plato Learning Inc.

Majalah Demersial. (2007). Pentingnya Tata Ruang dalam Pembangunan Wilayah Pesisir. Berita: Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 14 Juni 2007.

Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kreatif (Penelitian Eksperimen pada Siswa Salah Satu SMP N di Bandar Lampung). Tesis SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.

Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Shadiq, F. (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika dengan tema “Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika Yogyakarta.,

Sternberg, R.J. & Ben-Zeev, T. (1996). The Nature of Mathematical Thinking. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

Suhendri. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Problem-Centered Learning (PCL) (Studi Eksperimen di SMA Negeri 1 Ukui Kab. Pelalawan). Tesis Magister pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.



--------------------------------------------------------------------------------

[1] Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan di FKIP Universitas Sriwijaya Palembang, Kamis, 14 Mei 2009

[2] Staf Pengajar Jurusan Pendidikan MIPA FKIP
http://kadirraea.blogspot.com/2010/04/makalah-semnas-palembang.html
http://file.upi.edu/Direktori/D%20-%20FPMIPA/JUR.%20PEND.%20MATEMATIKA/197703062006042%20-%20TIA%20PURNIATI/perkuliahan%206%20eval%20pemb%20mat.pdf termasuk ini
klik http://file.upi.edu/Direktori/D%20-%20FPMIPA/JUR.%20PEND.%20MATEMATIKA/197703062006042%20-%20TIA%20PURNIATI/perkuliahan%206%20eval%20pemb%20mat.pdf untuk indikator kemampuan pemecahan masalah