Makalah Semnas Palembang
KEMAMPUAN SISWA SMP MENYELESAIKAN SOAL-SOALPEMECAHAN MASALAH MATEMATIK BERBASIS POTENSI PESISIR[1]
Kadir, S.Pd., M.Si.[2]
Email: kadir168@yahoo.com
Abstrak: Artikel ini membahas tentang kemampuan pemecahan masalah matematik berbasis potensi pesisir. Kemampuan ini penting diukur karena merupakan bagian dari tujuan pemberian matematika di SMP dan prinsip pengembangan KTSP memberikan peluang memasukkan potensi pesisir dalam soal-soal matematika. Penggunaan masalah kontekstual pesisir bermanfaat untuk (1) mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan berbagai habitat di sekitarnya. Data dikumpulkan dengan menggunakan tes pemecahan masalah matematik. Tes diberikan kepada 65 siswa kelas VIII dan 77 siswa kelas IX dari dua sekolah, SMPN 4 Bau-Bau dan SMPN 5 Kendari. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal-soal matematik berbentuk esay yang memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir masih rendah dengan rata-rata sebesar 3,48; deviasi standar 2,33; nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4 (data dalam skala 0 – 10). Dari tiga indikator pemecahan masalah, sebanyak 38,03 % siswa mampu memahami masalah, 35,21 % mampu menyelesaikan masalah, dan 36,48 % mampu menjawab masalah. Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematik siswa masih rendah sehingga perlu mendapatkan pemecahan segera. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan membiasakan siswa belajar berdasarkan masalah pesisir dan mengkaitkannya dengan matematika.
Kata kunci: kemampuan pemecahan masalah matematik, indikator pemecahan masalah matematik, masalah kontekstual berbasis potensi pesisir
PENDAHULUAN
Pemecahan masalah matematik merupakan salah satu dari lima standar proses yang dikemukakan NCTM, selain komunikasi, penalaran dan bukti, koneksi, dan representasi matematik. Pemecahan masalah merupakan tipe belajar yang paling kompleks (Gagne dalam Ruseffendi, 2006: 166) dan merupakan fokus sentral dari kurikulum matematika (NCTM, 1989 dalam Kirkley, 2003: 1). Pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematik ini dapat membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif.
Untuk dapat memecahkan masalah, siswa terlebih dahulu harus dapat memahami masalah yang ditunjukkan dengan menyusun persamaan atau model matematika, merencanakan penyelesaian dan melaksanakannya, dan menjawab masalah. Jika dikaitkan dengan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dipelajari dan sulit diajarkan, maka siswa seharusnya dibiasakan belajar pemecahan masalah. Namun kenyataannya, proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan pada semua jenjang pendidikan formal belum mengupayakan terbentuknya kemampuan ini pada diri setiap siswa.
Menurut Shadiq (2007: 2), proses pembelajaran (matematika) di kelas kurang meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills) dan kurang berkait langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari (kurang penerapan, kurang membumi, kurang realistik, ataupun kurang kontekstual). Penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak pada penguasaan keterampilan dasar (basic skills), namun sedikit atau sama sekali tidak ada penekanan untuk penerapan matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi matematik, dan bernalar secara matematik. Pembelajaran matematika yang kurang kontekstual menjadi bagian yang menarik untuk dikaji karena konteks masyarakat Indonesia yang sangat beragam dan secara umum siswa bertempat tinggal di daerah pesisir.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki kekayaan sumberdaya pesisir yang belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan hidup masyarakat pesisir. Bahkan, berbagai perilaku deskruptif masyarakat pesisir seperti pemanfaatan perluasan daratan untuk reklamasi pantai, penebangan pohon bakau (mangrove), pencemaran perairan oleh lumpur, penambatan jangkar perahu, pencemaran limbah, tumpahan minyak, dan lain-lain (Majalah Demersial, April 2007) telah mempercepat laju kerusakan sumberdaya pesisir tersebut.
Pemerintah melalui Depdiknas dan Departemen Kelautan dan Perikanan telah meletakkan sandaran utama pembangunan masyarakat pesisir yang menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan daya dukung lingkungan menuju pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Sandaran tersebut sejalan dengan sasaran program UNESCO dalam pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development, ESD) yang ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan, keberlanjutan ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Perhatian ini didasarkan pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM) untuk berpartisipasi dalam upaya pemecahan masalah pembangunan wilayah pesisir. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan pendidikan pesisir difokuskan pada siswa jenjang pendidikan SMP (secondary level), generasi muda yang sangat perlu disiapkan sejak dini untuk keberlanjutan pembangunan yang lebih baik.
SDM pesisir yang berkualitas mestinya memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. Kemampuan ini dapat dilatihkan dalam pembelajaran matematika dengan merancang suatu proses pembelajaran yang dapat memanfaatkan segala potensi pesisir dan permasalahannya. Potensi dan permasalahan pesisir tersebut dapat digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika atau dalam bentuk soal-soal cerita matematik. Pembelajaran seperti ini, di samping untuk menanamkan nilai-nilai matematika kepada siswa, juga agar siswa menjadi good problem solver untuk mencapai kesejahteraan hidup. Untuk mampu merancang pembelajaran matematika yang demikian dibutuhkan berbagai informasi tentang potensi dan permasalahan pesisir serta kaitannya dengan matematika.
Informasi tentang berbagai potensi dan permasalahan pesisir yang tertuang dalam soal-soal matematika selama ini masih sangat rendah. Hasil penelitian penulis terhadap berbagai buku acuan yang beredar dan dipakai pada setiap jenjang pendidikan khususnya di SMP menunjukkan bahwa sangat sedikit potensi dan permasalahan pesisir yang tertuang dalam soal-soal matematika. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam mengupayakan pembelajaran matematika secara kontekstual pada siswa di daerah pesisir. Ada beberapa akibat yang dapat dilihat dari kondisi ini, yaitu: partisipasi aktif siswa bersekolah rendah, banyaknya siswa putus sekolah, materi matematika yang dipelajari tidak tersimpan lama dalam memori siswa, rendahnya kesadaran dan pengetahuan tentang permasalahan dan cara pelestarian potensi pesisir, matematika tetap merupakan mata pelajaran yang tidak berkontribusi pada kehidupan, dan bersekolah hanya menghabiskan waktu. Kondisi-kondisi seperti ini seharusnya diubah karena pada masa yang akan datang, generasi muda ini merupakan tulang punggung pelestarian potensi pesisir.
Potensi dan permasalahan pembangunan wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok, yaitu sumberdaya dapat pulih, sumberdaya tak dapat pulih, dan jasa-jasa lingkungan (Dahuri et al., 2001). Sumberdaya dapat pulih berupa hutan mangrove (bakau), terumbu karang, rumput laut, dan sumberdaya perikanan laut. Sumber daya tidak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi seperti minyak gas, batu bara, emas, timah, nikel, biji besi, batu bara, granit, tanah liat, pasir, kaolin, pasir kuarsa, pasir bangunan, kerikil, dan batu pondasi. Sedangkan jasa-jasa lingkungan meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan parawisata, media transportasi dan komunikasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan keamanan, penampungan limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya. Penggunaan potensi dan masalah pesisir sebagai masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika baik dalam bentuk soal latihan maupun sebagai titik awal pembelajaran akan dapat menciptakan suasana belajar yang bermakna bagi siswa. Suasana belajar seperti ini sangat dibutuhkan untuk mengembangkan daya matematika siswa.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilaksanaka pada bulan April - Mei 2009. Peneliti tidak memberikan perlakuan kepada siswa sampel yang diteliti. Sebanyak 142 siswa sampel yang terpilih secara acak, yaitu 65 siswa kelas VIII dan 77 siswa kelas IX dari dua sekolah, SMP Negeri 4 Bau-Bau dan SMP Negeri 5 Kendari hanya diberikan tes pemecahan masalah matematik. Redaksi dan gambar yang ada pada setiap item tes menggunakan gambar potensi dan permasalahan pesisir. Tes yang disusun oleh peneliti ini berbentuk esay dan terdiri dari 5 item serta telah divalidasi oleh para penimbang yang kompeten secara seragam. Skor maksimal setiap item tes adalah 10 sehingga skor maksimal yang dapat diperoleh setiap siswa adalah 50 dan skor minimal siswa adalah 0. Sebelum diolah lebih jauh, skor perolehan siswa dikonversi terlebih dahulu ke nilai dalam skala 0 – 10 dengan cara:
nilai perolehan siswa (x) = (skor perolehan/skor ideal) x 10.
Nilai siswa hasil konversi inilah kemudian yang diolah dan dianalisis secara deskriptif dengan mencari rata-rata, deviasi standar (S), nilai maksimum, nilai minimum, dan distribusi frekuensi nilai perolehan siswa yang dibagi dalam lima interval kategori, yaitu sangat tinggi (x >= 8), tinggi (7<= x <> x <><= x <>x <>
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa hanya sebesar 3,48 dengan deviasi standar 2,33, nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4. Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik baik berbentuk soal cerita maupun soal berbentuk gambar masih sangat rendah. Hasil ini dapat juga dilihat dari distribusi frekuensi kategori kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematik. Siswa yang memiliki kemampuan sangat tinggi dalam memecahkan masalah matematik sebanyak 4 orang (2,82 %), tinggi sebanyak 8 orang (5,63 %), sedang sebanyak 19 orang ( 13,4 %), rendah sebanyak 15 orang (10,6 %), dan sangat rendah sebanyak 96 orang (67,6 %). Hasil ini memperlihatkan bahwa secara umum kemampuan siswa masih berada pada kategori sangat rendah dalam memecahkan masalah matematik yang berkaitan dengan potensi dan permasalahan pesisir. Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian lain tentang pemecahan masalah matematik, antara lain Helmaheri (2004), Hulukati (2005), Suhendri (2006), Noer (2007), dan Kadir (2009).
Dari beberapa hasil penelitian tersebut terungkap bahwa ada beberapa faktor penyebab rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematik siswa. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah rendahnya pengetahuan dasar matematika yang dimiliki siswa dan proses pembelajaran matematika yang tidak variatif serta lebih condong mekanistik dan tidak membiasakan siswa berpikir tingkat tinggi dengan soal-soal open-ended. Proses pembelajaran matematika yang dilaksanakan guru masih konvensional yang juga dikenal dengan istilah tradisional, yaitu suatu pembelajaran yang lebih fokus pada metode ekspositori (ceramah bervariasi) sehingga pembelajaran masih berfokus pada guru (teacher centered). Dominasi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sudah seharusnya dikurangi dan memberi peluang otonomi kepada siswa sedikit demi sedikit untuk aktif berkreasi mengikuti proses pembelajaran dan memecahkan masalah yang diberikan guru. Tujuan pembelajaran guru yang masih instant (sebagaimana dikemukakan oleh Shadiq pada bagian pendahulan di atas), yaitu agar siswa dapat menyelesaikan soal-soal ujian secara baik, sudah seharusnya diubah ke penekanan pada proses untuk mencapai hasil melalui berbagai strategi yang ada ataupun menemukan strategi baru dari beragam masalah yang diberikan. Peran soal-soal open-ended yang memiliki ciri banyak cara penyelesaian dan banyak jawab sangat dibutuhkan untuk senantiasa diberikan kepada siswa selama proses pembelajaran matematika.
Jika dilihat dari langkah-langkah pemecahan masalah, yaitu memahami masalah, menyelesaikan masalah, dan menjawab masalah, maka hasil analisis data menunjukkan bahwa proses menyelesaikan masalah merupakan kemampuan siswa yang paling rendah (kemampuan siswa hanya 35,21 %). Kemampuan siswa tertinggi terlihat dari kemampuan mereka dalam memahami masalah dengan persentase sebesar 38,03%. Sementara kemampuan siswa dalam menjawab masalah sebesar 36,48 %.
Ketiga langkah penyelesaian masalah matematik di atas sekaligus merupakan indikator untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik. Ketiga langkah tersebut merupakan penyederhanaan dari empat langkah proses penyelesaian masalah yang dikemukakan oleh Polya (1985: 5 - 6), yaitu: understanding the problem (memahami masalah), devising a plan (merencanakan pemecahan), carrying out the plan (melakukan perhitungan), dan looking back (memeriksa kembali). Proses penyelesaian ini merupakan proses kognitif sebagaimana dikemukakan oleh Foshay dan Kirkley (2003: 4). Menurut Foshay dan Kirkley (2003: 4), pemecahan masalah adalah suatu proses yang kompleks. Pemecah masalah terkadang mengalami kegagalan tetapi juga terkadang memperoleh kesuksesan. Dalam memecahkan masalah, siswa membuat representasi masalah, mencari solusi, dan mengimplementasi solusi. Untuk melakukan proses ini, siswa melakukan recall semua pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika siswa mengalami kegagalan, maka ia akan mengecek kembali representasi masalah yang dibuat atau strategi solusi yang sudah dirancang. Peran penting masalah kontekstual yang telah dilatihkan ketika melaksanakan proses ini sangat dibutuhkan karena melalui pemberian masalah kontekstual dan berbagai proses penyelesaiannya, siswa dapat memperoleh makna dari materi yang dipelajari sehingga tersimpan lama dalam memori siswa.
Ketiga proses penyelesaian masalah di atas dapat dijabarkan dalam beberapa aspek untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematik secara lebih detail. Kemampuan siswa memahami masalah, meliputi kemampuan: (a) mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah dan (b) membuat model/representasi masalah (Sternberg dan Ben-Zeev, 1996: 34) matematik dari suatu situasi atau masalah sehari-hari. Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah meliputi kemampuan: (a) memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan model atau masalah matematika dan atau di luar matematik; dan (b) menerapkan matematika secara bermakna. Sedangkan kemampuan menjawab masalah meliputi kemampuan: (a) menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal dan (b) memeriksa kebenaran hasil atau jawaban.
Dari beberapa aspek penjabaran indikator pemecahan masalah matematik di atas, aspek yang paling sulit diamati adalah aspek memeriksa kembali kebenaran hasil atau jawaban (looking back). Kita tidak dapat menelusuri informasi tentang aspek ini dari lembar jawaban siswa kecuali jika pada setiap soal termuat pertanyaan atau perintah agar siswa melakukan pengecekan kembali atas jawaban mereka. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan, seperti “Apa Anda yakin dengan kebenaran jawaban yang Anda peroleh?”, “Bagaimakah Anda menjelaskannya?”, “Apakah tidak ada jawaban lainnya?”, dan sebagainya. Sayangnya, banyak pertanyaan yang diajukan pada setiap soal ujian tidak memuat pertanyaan atau perintah seperti ini. Demikian juga soal pemecahan masalah matematika yang diujikan dalam penelitian ini.
Apakah tidak ada cara lain untuk mengecek proses pengecekan kembali kebenaran jawaban yang dilakukan siswa selain cara di atas? Dalam penelitian ini, peneliti mencoba membuat terobosan dengan mengarahkan siswa untuk mengumpulkan lembar jawaban soal dan kertas cakaran siswa dalam menjawab setiap item soal. Hasilnya cukup menggembirakan. Beberapa siswa yang tidak sempat menuliskan hasil coretannya pada lembar jawaban dapat diberikan skor pada suatu soal tertentu karena tertulis pada kertas cakarannya hasil coretan perhitungan dan proses penyelesaian soal yang diujikan.
Kebijakan di atas dimungkinkan untuk dilaksanakan karena soal-soal berbentuk esay memerlukan proses pengerjaan yang cukup panjang dan proses berpikir yang sangat tinggi. Sebelum siswa menuliskan jawaban yang diperoleh pada lembar jawaban, mereka terlebih dahulu menuangkan ide proses penyelesaian soal pada lembar cakaran. Pada lembar cakaran ini dapat diketahui apakah siswa menebak jawaban soal, meniru langkah dan jawaban orang lain, mengecek kembali jawaban yang diperoleh dengan proses pengulangan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, langkah mengumpulkan kembali kertas cakaran siswa dapat dijadikan salah satu cara untuk mengecek apakah siswa melakukan pengecekan kembali kebenaran jawaban mereka. Cara ini tentu kurang efisien karena terkadang beberapa siswa langsung mengerjakan soal pada lembar jawaban tanpa perlu mencakarnya terlebih dahulu pada kertas cakaran. Hal ini dilakukan karena keterbatasan waktu yang dberikan sedangkan soal yang diujikan membutuhkan proses berpikir yang tidak mudah.
Proses berpikir yang digunakan siswa dalam memecahkan masalah sangat terkait dengan penentuan langkah atau strategi yang digunakan. Suatu strategi penyelesaian masalah yang dipilih tergantung kepada pengetahuan siswa dan retensi yang ada terhadap berbagai strategi yang pernah digunakan dalam memecahkan masalah. Retensi ini tergantung kepada ketertarikan dan keterkaitan masalah yang diberikan dengan kebutuhan atau kehidupan siswa. Oleh karena itu, pemberian masalah dalam pembelajaran matematika seharusnya adalah masalah-masalah yang kontekstual.
Masalah kontekstual antar setiap daerah berbeda-beda. Memaksakan masalah kontekstual yang ada di buku untuk diberikan kepada setiap siswa secara seragam akan menyebabkan masalah tersebut tidak kontekstual lagi. Apalagi konteks masalah yang ada dibuku paket secara umum tidak dipahami atau tidak berkaitan dengan kehidupan siswa di daerah pesisir. Pemberian konteks seperti ini walaupun dipahami belum tentu menarik bagi siswa.
Lain halnya jika masalah yang diberikan kepada siswa diangkat langsung dari masalah pesisir. Agar lebih menarik, masalah tersebut diberikan dalam bentuk gambar potensi dan permasalahan pesisir atau dalam bentuk soal cerita aau gabungan keduanya. Hal ini dibenarkan karena sesuai dengan prinsip pengembangan KTSP yang memberikan peluang kepada setiap satuan pendidikan untuk memasukkan potensi lokal seperti potensi pesisir dalam menyusun kurikulum matematika. Salah satu upaya tersebut misalnya dengan menggunakan potensi dan permasalahan pesisir dalam soal-soal matematika.
Penggunaan masalah kontekstual pesisir dalam soal-soal matematika atau dalam pembelajaran matematika yang serba simbolik bermanfaat antara lain untuk (1) mengetahui kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan berbagai habitat di sekitarnya. Soal-soal seperti ini akan menarik bagi siswa karena mereka pahami dan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Soal-soal menarik seperti ini akan mempermudah siswa menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Menurut Huang (2004), beberapa penelitian menunjukkan bahwa siswa dapat menerapkan pengetahuan yang diperolehnya ketika menyelesaikan masalah sehari-hari. Masalah sehari-hari dimaksud merupakan masalah kontekstual yang tentu memiliki makna pada diri siswa karena berkaitan dengan hidup mereka. Aktifitas siswa dalam menemukan makna dapat diwujudkan ketika siswa menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah yang terjadi di lingkungannya. Keberhasilan siswa memecahkan masalah ini berdampak pada keyakinannya untuk berperan dan bertanggung jawab dalam kehidupannya di masyarakat dan membuat siswa tersebut meyakini bahwa pengetahuan yang dipelajarinya memberi kontribusi yang besar dalam hidupnya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal-soal matematik berbentuk esay yang memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir masih rendah. Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematik siswa hanya sebesar 3,48; deviasi standar 2,33; nilai minimum 0; dan nilai maksimum 8,4 (data dalam skala 0 – 10). Dari tiga indikator pemecahan masalah matematik, sebanyak 38,03 % siswa mampu memahami masalah, 35,21 % mampu menyelesaikan masalah, dan 36,48 % mampu menjawab masalah.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa perlu dilakukan inovasi pembelajaran matematika dengan memanfaatkan potensi dan permasalahan pesisir agar: (1) kemampuan siswa dalam memecahkan soal-soal matematika yang disusun dalam bentuk narasi atau gambar berbagai potensi pesisir dapat ditingkatkan; (2) memberikan pengetahuan kepada siswa tentang kondisi berbagai potensi pesisir yang belum termanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat bahkan keberadaannya semakin memprihatinkan; dan (3) memberikan kesadaran kepada siswa tentang pentingnya pelestarian potensi pesisir untuk kelangsungan hidup umat manusia dan habitat di sekitarnya.
DAFTAR RUJUKAN
Dahuri R. et al. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: Pradnya Paramita.
Foshay, R. dan Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. [Online]. Tersedia: www.plato.com/downloads/papers/paper_04.pdf [27 Mei 2008]
Helmaheri. (2004). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SLTP melalui Strategi Think-Talk-Write dalam Kelompok Kecil. Tesis PPS UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Huang, Hsin-Mei E. (2004). The impact of context on children's performance in solving everyday mathematical problems with real-world settings. Journal of Research in Childhood Education. [Online]. Tersedia: http://goliath.ecnext.com/coms2/gi_0199-270803/The-impact-of-context-on.html [4 Pebruari 2008]
Hulukati, E. (2005). Mengembangkan Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Kadir. (2009). Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII SMP. Makalah yang disajikan pada Seminar Nasional Pendidikan di Universitas Lampung, tanggal 24 Januari 2009.
Kirkley, J. (2003). Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana University: Plato Learning Inc.
Majalah Demersial. (2007). Pentingnya Tata Ruang dalam Pembangunan Wilayah Pesisir. Berita: Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 14 Juni 2007.
Noer, S. H. (2007). Pembelajaran Open-Ended untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik dan Kemampuan Berpikir Kreatif (Penelitian Eksperimen pada Siswa Salah Satu SMP N di Bandar Lampung). Tesis SPs UPI Bandung. Tidak Diterbitkan.
Polya, G. (1985). How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Second Edition. New Jersey: Princeton University Press.
Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Shadiq, F. (2007). Laporan Hasil Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Matematika dengan tema “Inovasi Pembelajaran Matematika dalam Rangka Menyongsong Sertifikasi Guru dan Persaingan Global”, yang dilaksanakan pada tanggal 15 – 16 Maret 2007 di P4TK (PPPG) Matematika Yogyakarta.,
Sternberg, R.J. & Ben-Zeev, T. (1996). The Nature of Mathematical Thinking. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Suhendri. (2006). Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA melalui Problem-Centered Learning (PCL) (Studi Eksperimen di SMA Negeri 1 Ukui Kab. Pelalawan). Tesis Magister pada SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan di FKIP Universitas Sriwijaya Palembang, Kamis, 14 Mei 2009
[2] Staf Pengajar Jurusan Pendidikan MIPA FKIP
http://kadirraea.blogspot.com/2010/04/makalah-semnas-palembang.html
Kamis, 03 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar