Jumat, 04 Maret 2011

Model Kelas Bilingual di Sekolah Bertaraf Internasional: Sebuah Pemikiran Konseptual

Oleh: Gusti Astika

Pendahuluan

SatyawacanaDalam era globalisasi seperti sekarang bahasa Inggris memegang peranan penting dalam komunikasi internasional baik dalam bidang pembangunan, teknologi, ekonomi, maupun pendidikan. Sejalan dengan arus globalisasi, kebutuhan akan kemampuan berbahasa Inggris semakin terasa. Oleh sebab itu tidak mengherankan bahwa para ahli yang berkecimpung dalam dunia pendidikan merasa perlu memberikan pelajaran bahasa Inggris secara intensif dan berkesinambungan kepada para anak didik di sekolah menengah bahkan sejak anak-anak masih masih duduk di bangku sekolah dasar. Pada tingkat sekolah menengah telah banyak SMP dan SMA yang dijadikan rintisan sekolah bertaraf internasional dan sudah banyak juga sekolah yang memperoleh status Sekolah Bertaraf Internasional atau SBI.

Sekolah-sekolah tersebut mempersiapkan para siswanya agar pada masa mendatang mereka dapat bersaing secara global. Menyadari akan pentingnya kualitas pendidikan dan keinginan untuk mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan dibandingkan dengan negara lain, pemerintah terdorong untuk melakukan terobosan besar dalam bidang pendidikan dengan merancang Sekolah Bertaraf Internasional.

SBI adalah sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian. SNP ini diperkaya dengan beberapa unsur pendidikan yang mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OCD) dan / atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional (Sofa, 2009). Lebih lanjut Sofa menjelaskan bahwa ciri esensial dari SBI ditinjau dari komponen pendidikan ialah: (a) lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, (b) lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan (c) lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga.

Landasan hukum SBI ialah: (a) UU No. 20 tahun 2003, pasal 50, ayat 3, yang menyataan bahwa pemerintah dan/atau pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, (b) PP No 19 tahun 2005, pasal 61, ayat 1 yang menyatakan bahwa pemerintah bersama-sama pemda menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional, (c) Renstra Depdiknas 2005-2009 Bab V, halaman 58, tentang SBI yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan daya saing bangsa perlu dikembangkan SBI pada tingkat Kab/Kota melalui kerjasama yang konsisten antara pemerintah dengan Pemda Kab/Kota, untuk mengembangkan SD,SMP, SMA dan SMK yang bertaraf internasional (http://sbi.sman5bekasi.blogspot.com).

Kelas bilingual

Untuk mencapai tujuan SBI beberapa mata pelajaran seperti Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan Ekonomi harus diselenggarakan dalam bahasa Inggris dalam sistem pembelajaran kelas bilingual. Menurut Dharma (2007) penyelenggaraan kelas bilingual melalui beberapa tahap; pada tahun pertama memakai bahasa pengantar bahasa Inggris sebanyak 25 persen dan 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan 50 persen bahasa Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Model kelas bilingual yang berjenjang ini, menurut Lee (2008: 85) disebut sebagai biligual transitional education karena siswa tidak langsung diajar dengan menggunakan bahasa Inggris secara penuh tetapi bertahap, porsi bahasa Inggris makin lama makin besar dan porsi bahasa siswa makin lama makin kecil. Model ini mengasumsikan pengetahuan dan ketrampilan guru dalam mengajar dengan bahasa Inggris sudah mencapai tingkat lanjut sehingga dapat menentukan proporsi bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam mengajar.

Untuk dapat melaksanakan konsep kelas bilingual ini ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain: (a) Substansi pelajaran harus cocok dengan tingkat perkembangan kognitif dan kemampuan bahasa Inggris siswa, (b) sekolah harus dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk mendorong pemakaian bahasa yang bermakna baik tulis maupun lisan, (c) pembelajaran harus menekankan latihan pemecahan masalah dan siswa didorong untuk bekerjasama melalui tema-tema yang menarik dan menantang.

Sekolah-sekolah yang sudah atau sedang menyiapkan program kelas bilingual menghadapi masalah yang cukup serius, antara lain belum tersedianya buku ajar dalam bahasa Inggris yang cocok dengan kebutuhan sekolah, belum tersedianya silabus dalam bahasa Inggris, belum siapnya guru mengajar dengan pengantar bahasa Inggris, dan belum adanya model pembelajaran bilingual yang efektif. Di SBI, peranan guru bilingual untuk mempersiapkan siswa agar kelak dapat bersaing secara global dalam dunia kerja sangat besar. Competitive advantage para lulusan sekolah bertaraf internasional antara lain sangat bergantung kepada proses pembelajaran selama pendidikan. Keuntungan kompetitif ini akan dapat dimiliki oleh para siswa jika guru mata pelajaran mempunyai pengetahuan dan ketrampilan bahasa Inggris yang memadai baik untuk memahami bahan pelajaran, mengajarkannya, dan melakukan evaluasi. Seorang guru bilingual harus memiliki tingkat ketrampilan dua bahasa yang cukup untuk bisa mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth, (2007:5) mengemukakan tingkat ketrampilan bilingual sebagai berikut,

At the heart of the description of bilingualism is the issue of degree of bilingualism. Simply put, degree of bilingualism refers to the levels of linguistic proficiency a bilingual must achieve in both languages to be considered a bilingual.

Seorang guru kelas bilingual harus orang yang bilingual, fasih dalam dua bahasa. Masalahnya apakah guru-guru mata pelajaran mampu menjadi seorang bilingual yang siap mengajar dengan dua bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh seorang guru agar siap mengajar. Di samping itu tingkat ketrampilan bilingual seperti apa yang dibutuhkan atau yang harus dicapai oleh seorang guru supaya mampu mengajar kelas bilingual. Chin dan Wigglesworth (2007) membedakan dua macam ketrampilan bilingual. Pertama, balanced bilingual, yaitu orang yang dapat menguasai dua bahasa secara sempurna dalam konteks yang berbeda-beda. Dalam konteks sistem pendidikan Indonesia, kemampuan seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Yang kedua ialah dominant bilingual, yaitu orang yang dominan dalam salah satu bahasa. Dalam praktek, ketrampilan seperti ini tidak dapat diterapkan untuk membicarakan semua hal. Guru bahasa Inggris, misalnya, mungkin tidak mampu menerangkan masalah biologi dengan benar dalam bahasa Inggris karena bahasa yang lebih dikuasainya atau yang lebih dominan ialah bahasa Indonesia. Demikian juga halnya dengan orang asing yang menguasai bahasa Indonesia mungkin tidak mampu menerangkan masalah budaya mereka dalam bahasa Indonesia; mereka akan menggunakan bahasa Inggris karena bahasa ini yang lebih dominan.

Mengingat kondisi sumber daya guru SBI saat ini, sangat sulit rasanya untuk mencapai tingkat kemampuan bilingual tertentu agar dapat mengajar kelas bilingual seperti yang diharapkan. Banyak hasil penelitian pemerolehan bahasa menunjukkan bahwa secara umum penguasaan bahasa asing (Inggris) akan bisa maksimal jika dimulai sejak kecil, terutama dalam penguasaan ucapan. Orang dewasa, termasuk guru-guru di SBI yang harus belajar bahasa Inggris lagi melalui kursus atau pelatihan, akan sangat terpengaruh oleh sikap, motivasi, bakat, umur, dll, dan faktor-faktor tersebut akan secara signifikan dapat mempengaruhi hasil belajar.

Pelatihan untuk guru bilingual

Bahan pelajaran dalam kelas bilingual (seharusnya) memakai bahasa Inggris. Sangat aneh jika bahan pelajaran memakai bahasa Indonesia. Oleh sebab itu tidak relistis jika penyampaian substansi pelajaran disampaikan (sebagian besar) dalam bahasa Indonesia. Ini merupakan tantangan bagi pengembangan SBI di Indonesia yang memerlukan kerja keras dan komitmen yang tinggi secara berkelanjutan. Menurut Education Advisor dari British Council, Itje Chodidjah, berdasarkan hasil penelitian, murid perlu waktu tujuh tahun untuk fasih berbahasa Inggris dalam mempelajari mata pelajaran tertentu (Dharma, 2007). Hal ini perlu didukung oleh tersedianya bahan ajar yang baik dan ketrampilan pedagogik guru yang memadai.

Tuntutan untuk memakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam beberapa mata pelajaran tersebut di atas telah mendorong sekolah untuk merancang berbagai program pelatihan bahasa Inggris untuk guru-guru. Mereka dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan formal untuk mengikuti kursus bahasa Inggris selama beberapa bulan dengan harapan bahwa setelah menyelesaikan kursus mereka akan siap mengajar dengan bahasa Inggris. Ada juga sekolah yang mengundang pakar pendidikan bahasa Inggris untuk memberi pelatihan kepada guru-guru di sekolah secara reguler, di tengah-tengah kesibukan mereka mengajar. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah para guru yang sudah mendapat pelatihan bahasa Inggris sudah siap dengan tugas yang diamanatkan oleh undang undang tersebut di atas. Jika mereka belum siap, pengetahuan atau ketrampilan apa yang harus dimiliki oleh para guru agar mereka benar-benar siap mengajar dengan bahasa Inggris.

Salah satu SMA di Jawa Tengah memaparkan strateginya untuk pengembangan menuju sekolah unggul, antara lain sejak tahun 2006 para guru diberi training untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris melalui diklat bahasa Inggris Dasar. Sekolah tersebut berkerja sama dengan English Language Center, Universitas Sebelas Maret. Pada tahun 2007, ditindak lanjuti dengan kursus English Funcional. Selain itu dilakukan pula diklat bahasa Inggris berkerja sama dengan lembaga kursus bahasa San Diego Wonogiri. Sedangkan untuk tahun 2008, telah dilaksanakan tes TOEIC untuk mengetahui sampai sejauh mana kualitas/ kemampuan guru dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris (http://sman2wonogiri.blog.plasa.com).

Program pelatihan serupa juga dilaksanakan oleh sekolah-sekolah lain yang sedang dipersiapkan menuju SBI. Namun perlu dipahami bahwa hasil tes standar seperti TOEIC atau TOEFL bukan menjadi jaminan bahwa seorang guru akan bisa mengelola kelas bilingual dengan benar seperti argumen yang dikemukakan oleh Dharma (2007) dalam kutipan di bawah ini,

Konsep ini berangkat dari asumsi yang salah tentang penguasaan bhs Inggris sebagai bahasa pengantar dan hubungannya dengan nilai TOEFL. Penggagas mengasumsikan bahwa untuk dapat mengajar hard science dalam pengantar bahasa Inggris maka guru harus memiliki TOEFL> 500. Padahal tidak ada hubungan antara nilai TOEFL dengan kemampuan mengajar hard science dalam bhs Inggris. Skor TOEFL yang tinggi belum menjamin kefasihan dan kemampuan orang dalam menyampaikan gagasan dalam bahasa Inggris. Banyak orang yang memiliki nilai TOEFL<500 yang lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan orang yang memiliki nilai TOEFL > 500 . Singkatnya, menjadikan nilai TOEFL sebagai patokan keberhasilan pengajaran hard science bertaraf internasional adalah asumsi yang keliru. TOEFL lebih cenderung mengukur kompetensi seseorang, padahal yang dibutuhkan guru sekolah bilingual adalah performancenya, dan performance ini banyak dipengaruhi faktor-faktor non-linguistic. TOEFL bukanlah ukuran kompetensi pedagogik.

Dengan asumsi bahwa tes TOEFL atau TOEIC yang diambil ialah tes dalam bentuk yang lama, bukan computer atau internet-based test, argumen di atas menunjukkan bahwa ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara adalah dua ketrampilan yang berbeda. Ketrampilan membaca bukan jaminan dapat fasih berbicara apalagi dalam bahasa Inggris. Dalam literatur pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing banyak dibahas perbedaan antara ketrampilan membaca dan ketrampilan berbicara yang mempunyai implikasi pedagogis yang berbeda secara mendasar.

Jika argumen Dharma (2007) di atas benar, pola pelatihan guru bilingual yang selama ini dilakukan perlu dievaluasi. Koordinator SBI Jawa Tengah, dalam sebuah diskusi informal dengan penulis, menyatakan bahwa PBM kelas-kelas bilingual belum bisa berjalan sesuai dengan yang diharapkan walaupun para guru sudah menyelesaikan pelatihan bahasa Inggris. Mereka belum siap dan merasa belum memiliki ketrampilan yang memadai untuk melaksanakan pembelajaran bilingual walaupun mereka sudah mengikuti kursus dan pelatihan bahasa Inggris selama beberapa bulan. Keprihatinan ini perlu dicermati karena sebuah survei yang dilakukan oleh Astika, Wahyana, dan Andreyana (2008) tentang evaluasi diri menyangkut kemampuan dan ketrampilan bahasa Inggris dalam hubungannya dengan pembelajaran kelas bilingual menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. Hasil survei menunjukkan bahwa semua guru yang menjadi sampel menyatakan mereka mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang substansi mata pelajaran. Hal ini bisa dimengerti karena mereka mempunyai keahlian dalam mata pelajaran yang selama ini diampu. Dalam hal penguasaan bahasa Inggris, hasil survei menunjukkan kelemahan guru yang sangat mendasar, yaitu: (a) sebanyak 33,3 % responden menyatakan tidak memiliki bakat berbahasa Inggris, (b) sebanyak 66,7 % responden tidak dapat mengevaluasi efektifitas materi pelajaran dalam bahasa Inggris namun mereka dapat memahami konsepnya, (c) sebanyak 77,8 % responden tidak dapat menerangkan konsep materi dalam bahasa Inggris, dan (d) semua responden (100 %) tidak mampu menjelaskan tata bahasa yang ada dalam materi pelajaran. Walupun kemampuan bahasa Inggris guru sangat kurang, mereka (100 %) mempunyai keinginan untuk selalu mengembangkan pengetahuan bahasa Inggris melalui pelatihan atau kursus. Hal lain yang menggembirakan ialah adanya fasilitas pendukung PBM berupa laboratorium komputer yang terhubung dengan internet yang cukup memadai dan 100 % responden berpendapat bahwa dukungan sekolah untuk melaksanakan program bilingual sudah bagus.

Kelas bilingual adalah kelas ESP

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahan ajar di kelas bilingual harus disajikan dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu kelas bilingual merupakan salah satu bentuk pengajaran content-based instruction (Dudley-Evans & St John, 1998) karena bahan ajar dibuat berdasarkan silabus mata pelajaran. Dalam konteks SBI, mengajar dengan medium bahasa Inggris merupakan salah satu bentuk program ESP (Hutchinson & Waters, 2006). Bentuk lain dari content-based instruction ialah program imersi di mana proses belajar mengajar sepenuhnya memakai bahasa Inggris. Keunggulan kelas bilingual ialah materi pelajaran ditulis dalam bahasa Inggris dan relevan dengan kurikulum atau kebutuhan akademik siswa. Dengan demikian pengajaran menjadi sangat bermakna dan dapat menjadi faktor pendorong motivasi belajar.

Guru bilingual di SBI adalah guru ESP dan mempunyai tiga macam peran dalam menjalankan tugasnya: (a) sebagai praktisi, (b) sebagai perancang materi, dan (c) sebagai evaluator. Sebagai praktisi, guru mempunyai tugas untuk mendesain dan mengatur proses belajar mengajar, memberi penjelasan masalah-masalah kebahasaan (bahasa Inggris), dan secara terus menerus mengembangkan kemampuan bahasa Inggris siswa. Dalam perannya sebagai perancang materi, guru mempunyai tugas untuk merencanakan PBM, memilih materi yang cocok dengan silabus, memodifikasi materi supaya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa, atau membuat materi yang baru sama sekali jika materi yang siap pakai tidak ada. Sebagai evaluator, guru mempunyai tugas untuk mengevaluasi efektivitas materi pelajaran dan melakukan evaluasi terhadap pemerolehan belajar siswa. Ketiga peran tersebut di atas dapat dijalankan dengan baik jika bahasa Inggris merupakan bahasa pertama atau bahasa kedua, dan guru ESP tidak mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa Inggris karena mereka adalah penutur asli bahasa Inggris. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, bahasa Inggris adalah bahasa asing yang harus dipelajari dan diajarkan dengan model pendekatan yang berbeda dengan model pendekatan pembelajaran di negara-negara yang berbahasa Inggris di mana para guru ESP tidak mempunyai masalah dengan bahasa pengantar. Masalah yang dihadapi oleh guru bilingual SBI ialah pengetahuan dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris.

Dalam menjalankan proses belajar mengajar, guru bilingual SBI harus mempunyai dua macam pengetahuan kebahasaan, yaitu pengetahuan tentang istilah tehnis (technical vocabulary) dalam mata pelajaran tertentu dan pengetahuan tentang tata bahasa Inggris. Menerangkan konsep yang terkandung dalam istilah-istilah tehnis mungkin bukan merupakan masalah yang terlalu berat karena guru sudah mempunyai latar belakang ilmu yang diajarkan. Ini merupakan kekuatan bagi guru bilingual. Yang perlu harus dikembangkan ialah pengetahuan tentang tata bahasa dan ketrampilan menggunakan bahasa Inggris baik untuk keperluan umum (non-pedagogis) maupun untuk mengajarkan materi pelajaran (ketrampilan pedagogis). Bagaimanapun juga, mengajarkan suatu topik mata pelajaran dengan pengantar bahasa Inggris tidak bisa lepas dari pengajaran tata bahasa walaupun cara mangajarkannya tidak persis sama seperti mengajarkan tata bahasa dalam pelajaran bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib (English for General Purposes) pada umumnya.

Dalam mengajar, guru bilingual akan selalu mengadakan interaksi verbal dengan siswa baik satu arah maupun dua arah. Dalam hubungan ini, ada berbagai fungsi bahasa yang perlu dikuasai dalam mengajarkan materi (content knowledge), misalnya saja: menjelaskan konsep, melaporkan kejadian tertentu, memberikan definisi, memberi instruksi, menjelaskan proses, menjelaskan klasifikasi, memberi contoh, menerangkan tabel, gambar, ilustrasi, atau grafik, membandingkan dua masalah, membuat kesimpulan, dll.(Gillet, 2007). Fungsi-fungsi bahasa seperti ini memerlukan transactional skills, yaitu ketrampilan untuk menyampaikan infromasi yang bersifat satu arah, dan interactional skills, yaitu ketrampilan untuk melakukan interaksi bahasa dua arah, misalnya dalam diskusi walaupun dalam bentuk sederhana, atau dalam menjawab pertanyaan atau memberikan feedback (Yule, 1997). Dalam proses pembelajaran bahasa, dikenal dua macam feedback, yaitu feedback terhadap kesalahan tata bahasa (Doughty & Williams, 1998) dan feedback terhadap masalah makna komunikasi seperti yang terungkap dalam penelitian oleh Astika (2007). Kedua macam feedback tersebut bisa juga dilakukan dalam bentuk tulis jika assessment terhadap hasil pembelajaran siswa dilakukan dalam bentuk tertulis, atau dalam bentuk dialog (Weisberg, 2006), di mana guru, selama proses belajar berlangsung, berdialog dengan siswa agar siswa dapat menyelesaikan tugas. Sudah barang tentu guru harus memiliki ketrampilan bahasa Inggris tingkat lanjut.

Masalah linguistik dalam kelas bilingual

Manfaat pengajaran bahasa Inggris yang berdasarkan pada content telah banyak dibahas di dalam literatur yang menunjukkan keunggulan pendekatan ini dalam hubungannya dengan pemerolehan bahasa dan substansi mata pelajaran. Dalam pendekatan ini peran tata bahasa tidak dapat diabaikan. Menurut Chin dan Wigglesworth (2007), pemahaman suatu konsep dan pemerolehan bahasa dalam pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh bimbingan yang jelas tentang masalah kebahasaan dan konsep-konsep esensial dalam ilmu tertentu. Dengan kata lain, pemahaman konsep tidak dapat dipisahkan dari pemahaman tentang masalah kebahasaan. Oleh sebab itu ketrampilan menerangkan konsep dan tata bahasa merupakan syarat mutlak bagi guru bilingual. Pentingnya peran bahasa dalam memahami suatu ilmu dijelaskan oleh Chin dan Wiggleswroth (2007) yang mengutip pernyataan Halliday sebagai berikut,

… language is the essential condition of knowing, the process by which experience becomes knowledge that would lead to the realization that ‘knowledge’ itself is constructed in varying patterns of discourse’. A key way for enhancing mental abilities is through enhancing learners’ text-based language patterns.

Jadi pemahaman yang tepat tentang suatu pokok bahasan dapat terjadi bila bahasa dan konsep tidak diterangkan secara terpisah tetapi merupakan suatu kesatuan yang utuh dan diajarkan bersamaan melalui langkah-langkah pedagogis yang disusun secara cermat. Pemahaman teks sangat bergantung kepada konsep linguistik. Siswa yang tidak dapat memahami suatu konsep dapat disebabkan oleh bahasa guru yang tidak mencerminkan penguasaan masalah kebahasaan. Sebuah teks bahasa Inggris selalu memakai penanda linguistik yang menunjukkan hubungan antara konsep yang satu dengan yang lain. Pemahaman teks yang tidak lengkap bisa terjadi karena tidak dipahaminya fungsi dari penanda linguistik dalam suatu kalimat atau antar kalimat. Sebuah paragraf bukan merupakan kumpulan kalimat yang terpisah-pisah, ada banyak penanda linguistik yang menunjukkan hubungan ide antar kalimat yang membuat teks menjadi kohesif. Di kelas bilingual, ketrampilan untuk memahami fungsi penanda linguistik perlu diajarkan untuk memahami informasi tertentu, misalnya memahami contoh, klasifikasi, hubungan sebab akibat, deskripsi, kesimpulan, argumen, dan sebagainya.

Task sebagai dasar pengajaran di kelas bilingual

Salah satu pendekatan mengajar bahasa yang sedang berkembang ialah pendekatan yang didasarkan pada task. Pendekatan ini dapat dicoba di kelas bilingual. Menurut Nunan (2004), task ialah,

a piece of classroom work which involves learners in comprehending, manipulating, producing or interacting in the target language while their attention is focused on mobilizing their grammatical knowledge in order to express meaning and in which their intention is to convey meaning rather than to manipulate form.

Pemahaman terhadap task seperti inilah yang sebaiknya diterapkan dalam mengajarkan mata pelajaran kelas bilingual di SBI. Dalam konteks SBI, di mana bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar, menyelesaikan sebuah tugas (task completion) dalam proses belajar di kelas memerlukan keterampilan menggunakan tata bahasa Inggris (language forms) dan pemahaman terhadap substansi materi pelajaran (meaning or content knowledge). Jadi bahasa Inggris berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran. Pemahaman ini dapat diterjemahkan ke dalam langkah-langkah pedagogis menggunakan sebuah pedagogical framework (Willis, 1996, 2005) yang terdiri dari pre-task, task cycle, dan feedback. Pada tahap pre-task, guru menerangkan konsep-konsep penting dari materi pelajaran (technical dan semi-technical vocabulary), hubungan antar-konsep, dan masalah-masalah kebahasaan yang esensial untuk memahami materi atau teks. Pada langkah task cycle, guru memberi dan menerangkan tugas (task) yang akan dikerjakan siswa, menjadi fasilitator bagi siswa dalam proses mengerjakan tugas, dan pada tahap feedback, guru memberi masukan terhadap hasil pekerjaan siswa. Masukan bisa ditujukan untuk perbaikan substansi tugas atau bisa juga untuk kesalahan bahasa Inggris. Untuk melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan seperti ini guru perlu menguasai keterampilan memakai fungsi-fungsi bahasa dan keterampilan memberikan feedback baik pada waktu pelajaran berlangsung maupun feedback untuk tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa.

Pengajaran berdasarkan pada task mempunyai landasan teoritis yang sangat kuat. Teori yang dijadikan dasar pendekatan ini ialah interactionist theory (Pica, Kanagy, & Falodun, 1993). Teori ini mengatakan bahwa cara yang paling efektif untuk belajar ialah melalui interaksi. Di kelas ada banyak kesempatan untuk mendengarkan dan memahami konsep-konsep baru, bertukar pendapat, bertukar pikiran antar siswa maupun dengan guru. Tujuan belajar bukan hanya untuk memahami konsep, tetapi juga untuk melatih kemampuan memakai bahasa (Inggris) sebagai sarana untuk bertukar pikiran atau pendapat dalam usaha untuk mencapai tujuan dari tugas yang diberikan (task goal). Dalam hubungan ini, Long (1983, 1996) mengemukakan bahwa pembelajaran dapat terjadi jika siswa memperoleh input yang dapat dimengerti (comprehensible input) sebagai hasil dari interaksi yang bermakna.

Implikasi dari teori ini ialah bahwa agar terjadi pembelajaran di kelas, perlu diciptakan kesempatan bagi siswa untuk mangadakan interaksi sebab interaksi merupakan pra-syarat penting untuk terjadinya pembelajaran. Hal ini dapat terjadi jika kegiatan belajar dirancang berdasarkan pada task atau pemberian tugas. Bahan pelajaran yang dianggap dapat mendorong terjadinya interaksi antar siswa ialah bahan pelajaran yang, antara lain: (a) mengharuskan siswa untuk saling bertukar informasi, (b) berisi informasi yang harus disampaikan dengan cara dua arah, (c) mempunyai tujuan yang jelas, (d) mengandung masalah yang harus dipecahkan bersama.

Teori lain yang mendasari model pembelajaran berdasarkan task ialah sociocultural theory yang mengatakan bahwa dalam komunikasi, orang akan melakukan aktivitas secara bersama-sama sesuai dengan tujuan yang sudah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian dalam bidang ini (Ellis, 2000) menunjukkan bahwa komunikasi bergantung pada interaksi antara penutur dan petutur, bukan karakteristik dari task itu sendiri. Task yang sama dapat menghasilkan interaksi yang berbeda jika dilakukan oleh orang yang berbeda dalam waktu yang berbeda atau bahkan dalam waktu yang sama. Pembelajaran dapat terjadi jika siswa terlibat dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu satu sama lain, misalnya dengan teknik belajar kolaboratif (Wee & Jacobs, 2006). Ini menunjukkan bahwa untuk terjadinya pembelajaran, guru perlu merancang kegiatan belajar yang melibatkan siswa dalam interaksi sosial di mana mereka dapat saling membantu mengerjakan tugas yang diberikan guru. Uraian di atas menunjukkan bahwa guru bilingual harus memiliki keterampilan tambahan di samping penguasaan konsep materi mata pelajaran, yaitu keterampilan berbahasa Inggris dan keterampilan menggunakan bahasa tersebut dalam proses belajar mengajar termasuk keterampilan pengiring dalam pengelolaan PBM.

Model kelas bilingual yang bisa dikembangkan

SBI merupakan perkembangan baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Perkembangan ini memerlukan pembaruan daya dukung berupa sarana dan prasarana pendidikan, sistem manajemen sekolah, dan guru yang berkualitas yang dapat menguasai teknologi informasi. Sistem pembelajaran yang konvensional yang bergantung pada papan tulis dan kapur dan dibatasi oleh ruang kelas yang statis tidak dapat lagi sepenuhnya mendukung sistem pembelajaran yang dituntut oleh SBI. Oleh sebab itu perlu dirancang model pembelajaran yang dapat mengakomodasi cita-cita SBI dan perkembangan teknologi agar pembelajaran dapat efektif dan kompetitif. Model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

interaksi kelas bilinngual

Model ini menunjukkan bahwa dalam kelas bilingual perlu ada dua orang guru, misalnya guru bahasa Inggris yang bertanggung jawab mengajarkan masalah-masalah kebahasaan (Inggris) dan guru Matematika yang bertanggung jawab mengajarkan substansi pelajaran – matematika. Bahan ajar dalam model seperti ini sudah tentu harus dalam bahasa Inggris. Dalam pelaksanaan pembelajaran, konsep-konsep matematika dapat diajarkan terlebih dahulu oleh guru Matematika dalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dalam bahasa Inggris yang dikuasainya dengan baik. Sesudah itu guru bahasa Inggris mengajarkan masalah-masalah kebahasaan dalam bahasa Inggris yang diperlukan untuk memahami bahan ajar matematika dalam bahasa Inggris. Karena siswa sudah diajar konsep-konsep matematika, mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang pokok bahasan dan pengetahuan ini dapat membantu pemahaman mereka untuk mengetahui bahan tersebut dalam bahasa Inggris. Dengan model seperti ini, kelemahan guru Matematika yaitu kurangnya kemampuan bahasa Inggris, dapat dibantu oleh guru bahasa Inggris dan guru bahasa Inggris tidak perlu lagi mengajarkan konsep-konsep matematika. Dalam kondisi yang ada sekarang di mana guru mata pelajaran belum sepenuhnya dapat mengajar kelas bilingual secara mandiri, pendampingan guru bahasa Inggris dengan model ini sangat diperlukan. Model ini dapat membantu siswa menguasai substansi mata pelajaran dan bahasa Inggris secara bersamaan. Keberhasilan dari model ini sudah tentu akan bergantung kepada banyak faktor. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa kerjasama kedua orang guru harus mulai dari pembahasan tentang KTSP, desain silabus, seleksi dan atau adaptasi materi, dan proses belajar mengajar di kelas. Setiap tahap dari pengembangan model ini harus disertai dengan evaluasi dengan mempertimbangkan konteks belajar (learning needs) dan tujuan belajar (target needs) seperti yang dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

model kelas bilingualModel seperti ini juga disebut co-teaching (Liu, 2008) yang dikembangkan di sekolah dasar di Cina dalam kelas-kelas bilingual. Guru yang terlibat dalam co-teaching ialah guru penutur asli berbahasa Inggris dan guru lokal. Dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas, mereka bekerjasama mulai dari perencanaan pelajaran sampai dengan pelaksanaan evaluasi. Model ini telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Di Indonesia, untuk memperoleh guru penutur asli berbahasa Inggris sangat sulit. Namun demikian, kendala ini bisa diatasi dengan melibatkan guru bahasa Inggris yang ada di sekolah dengan mempertimbangkan masalah-masalah administratif dan manajerial sekolah.

Menurut Liu (2008), co-teaching atau team teaching sekarang semakin populer karena beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ini menghasilkan kualitas pembelajaran yang bagus dan dapat mengembangkan ketrampilan guru yang terlibat dalam proses PBM. Sistem mengajar ini telah diterapkan di banyak negera tidak hanya di negara negara barat tetapi juga di Asia.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan team teaching (Liu, 2008). Dalam team teaching, guru-guru yang terlibat mempunyai tanggung jawab dan status yang sama. Secara bersama-sama mereka mendesain perencanaan mengajar, mengadakan evaluasi dan bertanggung jawab kepada semua siswa di kelas. Guru bahasa Inggris dalam team teaching tidak lagi dianggap sebagai asisten guru mata pelajaran, tetapi dianggap sebagai sumber pengetahuan, fasilitator, dan guru yang mempunyai status yang sama. Dengan kata lain, kedua guru secara efektif saling melengkapi satu sama lain sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing dalam proses belajar mengajar.

Model team teaching ini bisa berhasil hanya jika kedua guru memiliki ketrampilan dan hubungan kerja yang kuat, profesional, mempunyai rasa saling percaya, bersedia menyediakan waktu yang cukup untuk mewujudkan tujuan pengajaran. Guru yang terlibat dalam team teaching harus mempunyai pengalaman mengajar yang cukup. Mereka perlu memahami peran masing-masing di kelas, jika tidak, hal ini dapat mempengaruhi kenerja team dan dapat dianggap sebagai kompetisi antara guru dalam team, yang akhirnya dapat melemahkan semangat kerja. Team teaching harus dipahami sebagai usaha untuk meningkatkan kompetensi mengajar dan melengkapi kelemahan masing-masing sebagai guru kelas bilingual.

Strategi pelaksanaan team teaching harus juga dipersiapkan dengan seksama, antara lain,

1. Persiapan

Dalam tahap ini, guru mata pelajaran dan guru bahasa Inggris membicarakan bagaimana cara mengajar siswa secara efektif. Diskusi difokuskan pertama-tama pada tingkat kemampuan siswa secara keseluruhan dalam kelas yang akan diajar, kekuatan dan kelemahan mereka, aspek apa yang perlu diperhatikan, masalah disiplin, dll. Guru dalam team harus menetapkan tujuan mengajar, menentukan topik bahasan untuk satu semester. Persiapan ini bisa memerlukan beberapa pertemuan agar setiap guru memahami apa yang menjadi target pembelajaran dan memahami ciri-ciri pengajaran dalam team, dan mengembangakan rasa percaya diri.

Model pengajaran ini juga memerlukan pertemuan dan diskusi secara teratur selama semester berjalan untuk merencanakan persiapan pengajaran. Oleh sebab itu sangat penting membuat jadwal yang teratur untuk mengadakan pertemuan dan merencanakan unit-unit pelajaran, antara lain menyangkut:

1. apa yang akan diajarkan,
2. materi atau sumber belajar yang akan dipakai,
3. peran dan tanggung jawab masing-masing guru,
4. bagaimana mengevaluasi belajar siswa, dan
5. bagaimana cara membantu siswa yang lemah dan perlu bantuan.

Masalah-masalah ini memerlukan diskusi mendalam agar peran dan tanggung jawab masing-masing guru menjadi jelas. Setiap guru harus mempunyai hak untuk mengutarakan pendapat dan memberikan kontribusi positif dalam membuat rencana pelajaran. Pada dasarnya, setiap guru dalam team perlu menyadari pentingnya toleransi, adanya perbedaan, dan mencari jalan untuk membuat perencanaan yang bermanfaat bagi siswa.

2. Pelaksanaan

Dalam implementasinya, model team teaching memerlukan dukungan manajerial dan administratif. Guru akan memerlukan waktu lebih banyak, program akan mempunyai dampak terhadap fasilitas mengajar, jadwal mengajar, dan dukungan finansial dalam pengadaan alat dan sumber belajar. Keberhasilan team teaching akan sangat bergantung kepada manajemen sekolah yang harus mengambil langkah-langkah berikut (Liu, 2008):

1. menciptakan kondisi kerja yang kondusif bagi guru dalam team untuk merencanakan pelajaran,
2. membagi beban mengajar secara proporsional untuk guru dalam team,
3. bersama-sama dengan semua guru menciptakan kegiatan yang dapat membangun ralasi yang harmonis dan produktif,
4. membangun kesadaran yang kuat akan pentingnya kerjasama dalam menangani isu pendidikan dalam model team teaching agar terbentuk kondisi yang dapat mendukung keberhasilan program.

Tanpa dukungan yang terus-menerus dari manajemen sekolah, semangat model team teaching bisa berubah menjadi frustasi dan implementasinya akan menghasilkan pembelajaran yang tidak efektif. Menurut Elena (2006), efektivitas seseorang dapat berkembang melalui dorongan dan dukungan orang lain. Setiap orang dapat diyakinkan bahwa dia memiliki ketrampilan dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas tertentu dan mencapai keberhasilan. Dukungan dan dorongan secara verbal dapat meningkatkan usaha seseorang untuk mencapai tujuan, bukannya menyerah ketika dia mengalami hambatan.

Menurut Lee (2008), dari hasil penelitiannya tentang team teaching, rahasia keberhasilan terletak pada adanya sikap terbuka dari guru dan cara menghindari konflik dalam team. Mereka melaksanakan perannya secara fleksibel, kadang-kadang sebagai ‘asisten’ kadang kadang sebagai guru utama (pemimpin) dengan tetap berpedoman kepada tujuan dan arah pembelajaran. Mereka percaya bahwa setiap guru harus bersedia untuk saling mendengarkan dan menerima saran satu sama lain, mempelajari masalah yang muncul, dan mencari win-win solution. Dalam proses merencanakan kelas bilingual perlu disadari bahwa pertemuan yang teratur antara guru bahasa Inggris dan guru mata pelajaran mutlak harus dilaksanakan. Oleh sebab guru-guru dalam team harus membangun komitmen yang berkelanjutan dan menyediakan waktu untuk merencanakan kelas bilingual.

Penutup

Artikel ini memaparkan sebuah model yang bisa dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk mengembangkan sistem pembelajaran kelas bilingual di SBI. Model ini mempunyai beberapa implikasi yang perlu diperhatikan. Pertama, pengembangan profesional guru kelas bilingual dan guru bahasa Inggris. Guru mata pelajaran jelas memerlukan pelatihan untuk mengembangkan ketrampilan bahasa Inggris. Yang perlu diperhatikan ialah pelatihan jenis apa yang dapat membekali mereka agar bisa mandiri mengajar kelas bilingual. Guru bahasa Inggris mungkin perlu training tambahan untuk memahami seluk beluk pembelajaran ESP di sekolah menengah. Kedua, dukungan administratif dan manajerial dari pihak sekolah mutlak diperlukan. Model ini memberi tambahan beban mengajar kepada guru bahasa Inggris yang pada umumnya sudah mendapat beban mengajar yang maksimal. Demikian juga dengan guru mata pelajaran, mereka memiliki beban tambahan untuk mempelajari bahan ajar yang memakai bahasa Inggris. Untuk memastikan apakah model ini dapat diterapkan, perlu kiranya didesain sebuah pilot study sebelum model ini diterapkan di semua kelas bilingual.

Daftar Pustaka

Astika, G. (2007). Readings in Language Teaching and Research. Salatiga: Widya Sari Press.

Astika, G, Wahyana, A, & Andreyana, R. (2008). Kemampuan bahasa Inggris guru SMA Negeri 1 dan SMK Negeri 2 Salatiga dalam mendukung program SBI. Laporan penelitian, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Chin, NgBee, and Wigglesworth, G. (2007). Bilingualism: an Advanced resource book. Abigdon: Routledge.

Dharma, S. (2007). Sekolah Bertaraf Internasional : Quo Vadiz? Http://www.ask.com. Accessed: 19 June 2009

Doughty, C. & Williams, J. (1998). Pedagogical choices in focus on form. In C. Doughty and J. Williams (Eds.), Focus on Form in Classroom Second Language Acquisition (pp.197-261). New York: Cambridge University Press.

Dudley-Evans, T., & St John, M. J. (1998). Developments in ESP: A multi-disciplinary approach. New York: Cambridge University Press.

Elena, S. L. (2006). Recruiting Paraeducators Into Bilingual Teaching Roles: The Importance of Support, Supervision, and Self-Efficacy. Bilingual Research Journal.

Ellis, R. (2000). Task-based research and language pedagogy. Language Teaching Research, 4(3), 193-220.

Gillett, A. (2007). Using English for Academic Purposes. Http://www. UEfAP, Speaking in Academic Contexts, html. Accessed: May 9, 2008.

Hutchinson, T. & Waters, A. (2006). English for Specific Purposes. Cambridge: Cambridge University Press.

Lee, C. (2008). Interdisciplinary collaboration in English language teaching: Some observations from subject teachers’ reflections. Reflections on English Language Teaching, vol 7, (2), 129-138.)

Liu, L. (2008). Co-teaching between native and non-native English teachers: An exploration of co-teaching models and strategies in the Chinese primary school context. Reflections on English language teaching, vol 7 (2), 103-117.

Long, M. H. (1983). Inside the ‘black box’: methodological issues in classroom research on language learning. In H. W. Seliger & M. H. Long (Eds.), Classroom Oriented Research in Second Language Acquisition (pp. 3-38). Cambridge: Newbury House.

Long, M. H. (1996). The role of the linguistic environment in second language acquisition. In W. Ritchie & T. Bhatia (Eds.), Handbook of Research on Second Language Acquisition. New York: Academic.

Menuju sekolah bertaraf internasioanal. ­Http://sbisman5bekasi.blogspot.com/ Accessed: 20 June 2009

Nunan, D. (2004). Task Based Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press.

Pica, T., Kanagy, R., & Falodun, J. (1993). Choosing and Using Communication Tasks for Second Language Instruction. In G. Crookes & S. M. Gass (Eds.), Tasks and Language Learning: Integrating Theory and Practice (pp. 9-34). Philadelphia: Multilingual Matters.

Sofa (2009). Konsep Sekolah Bertaraf Internasional. Http://massofa.wordpress.com. Accessed: 20 June 2009

Wee, S. & Jacobs, G.M. (2006). Implementing cooperative learning with secondary school students. In S.G. McCafferty & G. M. Jacobs (Eds). Cooperative Learning and Second Language Teaching (pp. 113-133). Cambridge: Cambridge University Press.

Weisberg, R. (2006). Scaffolded feedback: Tutorial conversations with advanced L2 writers. In K. Hyland & F. Hyland (Eds.). Feedback in Second Language Writing (pp. 246-265). Cambridge: Cambridge University Press.

Willis, J. (1996). A Framework for Task-Based Learning. Harlow: Addison Wesley, Longman.

Willis, J. (2005). Aims and explorations into tasks and task-based teaching. In C. Edwards & J. Willis (Eds.), Teachers Exploring Tasks in English Language Teaching (pp. 1-12). New York: Palgrave McMillan.

Yule, G. (1997). Referential Communication Tasks. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates.

Keterangan:

Gusti Astika adalah guru besar pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

klik disini untuk sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar